27 April 2011

Loki - Jiwa yang Terlantar

Pahit...
Hitam...
Kelam...
Yang tidak pernah berakhir

Gelap...
Perih...
Duka...
Terus menyelimuti asa dan hati

Pasrah...
Tangis...
Derita...
Berputar Bagai Roda

Ini hidup ataukah takdir?
Semua kulalui dengan perlahan
Walaupun akhirnya tak pernah kuketahui maknanya

............................................................................................................

Satu waktu, aku dibangunkan dari tidurku oleh dentingan jam tua yang berada di kamarku. Aku pun menggosok mata dengan perlahan dan memandang ke seluruh penjuru kamar, kemudian turun dari tempat tidur. Aku membawa langkahku ke arah jendela dan mengintip dari celah gorden. Cahaya matahari yang menyilaukan mata, sama seperti kemarin. Bagiku semua terasa hampa, tiada berarti apa-apa.Tiba-tiba saja suara gaduh dari bawah menyadarkanku dari lamunan. Akupun berpaling dari jendela, tetap membiarkan gorden tetap tertutup. Sekali lagi aku menatap sekeliling kamar yang gelap, sama seperti perasaanku selama ini.

"Loki ! Turun kebawah, Sarapan dulu!" Seorang wanita berteriak memanggil namaku dari lantai bawah. Tanpa bicara, akupun menuruni tangga dan pergi ke ruang makan menuruti teriakan tadi.

"Ini makananmu!" bentak wanita itu sambil menyerahkan sepiring makanan sisa semalam kepadaku.

"Makanlah di kamarmu ! Tidak boleh makan di meja makan, bisa - bisa anakku tertular oleh penyakitmu !" sambungnya. Aku hanya terdiam, dan berjalan kembali ke kamar. Di dalam kamar aku menangis, rasa lapar yang kurasakan sebelumnya telah hilang entah kemana. Aku merasa terpuruk, di dalam hatiku penuh pertanyaan yang tidak pernah aku temukan jawabannya.

'Mengapa aku dilahirkan ? Mengapa Engkau tak membiarkan aku menjadi jiwa yang terlantar saja ?' Aku pun terus menghujat dan mencela-Nya dalam hati karena aku merasa cobaan yang Ia berikan begitu berat bagiku. Orang tuaku menelantarkan aku sejak aku masih kecil. Aku diketemukan dalam keranjang bayi, di depan pintu rumah ini. Aku sama sekali tidak tahu asal usul keluargaku, yang kutahu adalah aku dirawat oleh orang-orang yang sama sekali bukan orang yang kukenal, mereka adalah orang asing bagiku. Mereka juga bukan orang yang berasal dari 'tempatku' , itulah sebabnya aku dinamai oleh mereka 'Loki' yang berarti anak yatim piatu dalam bahasa mereka.

Waktu demi waktu berlalu, usiaku pun memasuki tahun kelima yang merupakan awal dari hari-hari kelamku. Aku dinyatakan menderita penyakit TBC yang sangat parah. Aku selalu merasa sesak napas dan tak jarang aku batuk terus-menerus. Orang- orang mulai menjauhiku begitu pula keluarga yang merawatku. Mereka tidak mau bertanggung jawab atas apa yang teradi padaku, bahkan mereka tidak menginginkan aku terlalu dekat dengan mereka.

Usiaku semakin bertambah, genap 11 tahun aku tinggal bersama dengan mereka. Tiada yang berubah sejak saat itu. Hinaan, cemooh, dan berbagai celaan telah tersimpan didalam diriku. Rasanya sama seperti menyimpan penyakit yang kuderita. Sungguh menyesakkan hati.

Keesokan harinya, merupakan hari yang paling aku benci. Aku harus masuk sekolah.

" Jangan dekat - dekat dengannya. Bahaya, kamu bisa tertular ! "  Kata-kata itulah yang selalu tertangkap oleh telingaku dikala aku berpas-pasan dengan seseorang. Bagiku, sekolah hanyalah tempat yang menjemukan dimana aku mendapat lebih banyak hinaan dan siksaan daripada berada di rumah.

Bel telah berbunyi, tanda pelajaran akan dimulai. Inilah saat terburuk yang harus kuhadapi. Selama pelajaran, Aku mulai batuk terus-menerus. Kulihat seisi kelas mulai tampak risih dengan keberadaanku.

" Woi, kamu !" seseorang dari mereka memanggilku, akupun menoleh tanpa bicara.

" Kalau sakit, pulang saja! Dasar penyakitan !" teriaknya lagi. Kemudian, seisi kelaspun menertawakanku tanpa henti sehingga membuat kelas menjadi gaduh.

" Diam ! Jangan berisik !" Bentak wali kelasku.

" Loki, kalau kamu benar-benar sakit, silahkan ke UKS. Pelajaran menjadi terganggu karenamu." Sambungnya. Aku pun tertunduk diam. Kata-kata itu menusuk tepat di hatiku. Aku berdiri, dan berjalan keluar kelas. Kali ini aku benar-benar tidak berniat untuk mengikuti pelajaran. Saat ini dendam mulai membatu dalam hatiku.

Tanpa kusadari seorang gadis yang duduk dipojok kelas memperhatikan diriku. Lissa namanya, seorang siswi dari klub paduan suara, teman sepermainanku sedari kecil. Dalam kesehariannya, ia jarang berbicara padaku karena aku lebih sering terkurung dalam rumah. Hanya pada saat disekolah seperti ini sajalah kami dapat bertemu, meskipun kami saling berdiam diri.

" Bagaimana keadaanmu sekarang? " tanya Lissa yang tiba-tiba datang menjengukku di UKS. Awalnya Aku hanya terkejut dan tak berniat menjawab, tapi saat aku memandang wajahnya akhirnya tanpa sadar aku mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaannya itu.

" Buruk " Jawabku singkat. Sesaat Lissa tertunduk mendengar jawabanku. Kemudian dia kembali menatapku.

" Keluargamu ? Bagaimana hubungan kal..." Lissa baru saja membuka mulutnya kembali menanyakan hal yang paling tidak aku suka.

" Mereka bukan keluargaku ! bukan siapa - siapa ! " Aku berteriak. Lissa terlihat sangat terkejut mendengar aku meneriakinya. Dia tidak melanjutkan kata-katanya, sepertinya ia tidak ingin memperkeruh suasana.

" Maaf. Aku tidak bermaksud untuk meneriakimu. " Aku sadar kalau apa yang kuperbuat tadi itu salah. Aku pun kembali berbaring. Terlihat dari sudut mataku, Lissa yang terus menatapku. Tatapannya seakan ingin menolongku, tapi tidak tahu harus berbuat apa.

" Tidak apa-apa. Aku bersyukur selama ini kamu baik-baik saja." Lissa mulai memulai pembicaraan kembali. Aku menoleh padanya, tidak dapat membalas perkataan yang tulus itu. Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan yang seperti ini.

"Yah, kalau begitu.. aku pergi dulu. Sampai bertemu besok." Lissa menyambung pembicaraannya setelah mengambil napas panjang. Lissa pun berbalik hendak meninggalkan aku di ruang UKS.

" Tunggu ! " Aku berteriak dan berusaha meraih tangan Lissa yang baru berjalan selangkah dari tempat aku berbaring. Lissa menoleh kebingungan.

"Beritahu aku..." Belum selesai kata-kata itu keluar dari mulutku, tiba-tiba saja penyakit itu kembali menghampiriku. Aku batuk tidak berhenti. Sungguh menyengsarakan, seolah-olah ada orang yang meremas perut dan mencekik kerongkonganku.

"Loki ! kamu kenapa ? Loki !" Lissa terlihat sangat panik. aku sempat melihatnya meraih telepon genggam dari tasnya dan menghubungi seseorang memohon bantuan. Aku sudah tidak kuat. Mataku pun terpejam.

...........................................................................................................

Perlahan aku membuka mataku. Cahaya menyilaukan memancar dengan terangnya. 'Apakah aku sudah mati?' pikirku.

" Ah, sudah sadar rupanya. " Seseorang dengan masker diwajahnya menyambutku, membuatku tahu dimana diriku berada sekarang.

"Keadaanmu sudah sangat buruk, kamu harus tinggal disini untuk beberapa hari." kata orang itu. Mendadak aku teringat seseorang yang penting bagiku. Akupun menanyakan dimana Lissa berada.

" Tenang. Dia berada di ruang tunggu. Akan saya panggilkan, tunggu sebentar. " Orang itu berjalan meninggalkan aku. aku tidak pernah berpikir jikalau aku akan masuk ke rumah sakit untuk yang kelima kalinya seumur hidupku. Aku sering bertemu dengan dokter-dokter pribadi orang tua angkatku, namun tak seorangpun dari mereka yang dapat dikatakan 'dokter' yang sebenarnya. Mereka selalu memberiku berbagai macam obat penenang ataupun obat tidur, agar mereka tidak terganggu dengan suara batuk mengerikan yang keluar dari mulutku. Betapa membuatku menjadi sangat takut jika mengingat hal itu.

Tak lama terdengar suara Lissa dari luar ruangan, dan sepertinya suara langkahnya sedang menuju kesini. Ternyata Lissa sudah masuk ke ruanganku dengan membawa sekeranjang buah ditangannya. Lissa duduk di samping tempat tidurku sambil meletakkan keranjang buah tadi ke atas meja.

"Hai, kata dokter kau akan dirawat inap. Biar keluargaku yang menanggung biayanya, jadi kau tenang saja, ya. " Lissa menyapaku dan menjelaskan mengenai biaya yang tidak mungkin akan dikeluarkan oleh keluarga angkatku. Dalam hati aku tertegun melihat sikap Lissa terhadapku. Sikap yang tidak mungkin kurasakan daripada keluargaku yang sekarang. Bahkan untuk menjengukku saja mereka tidak.

"Lissa, maaf aku merepotkanmu. Sampai-sampai kau menjengukku untuk yang kedua kalinya." balasku kaku. Untuk pertama kalinya aku bicara sepanjang ini dengan seseorang. Lissa terlihat cukup terkejut mendengar kalimat itu terlontar begitu saja dariku. Ia hanya tersenyum dan menggeleng pelan, wajahnya tersipu malu. Suasana diantara kami menjadi hening sejenak. Kami tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi.

"Mengapa kau melakukan semua ini ? kau kan tidak perlu berbuat seperti ini demi seseorang seperti aku.." tukasku menyambung pembicaraan. Aku sebenarnya ragu membicarakan masalah ini, hanya saja aku sangat penasaran dengan alasan yang akan diberikan oleh Lissa kepadaku.

"Mengapa tidak? kau adalah sahabatku, dan aku tidak mungkin membiarkan sahabatku sengsara. Aku tidak peduli siapa 'mereka' , yang terpenting adalah kita sebagai manusia tidak dapat hidup seorang diri bukan?" Lissa menjawab pertanyaanku dengan tersenyum. Ini adalah senyuman tulus yang paling indah yang pernah kudapatkan hingga sekarang.

" Kau tidak takut dengan penyakitku ?" Tanyaku sekali lagi. Aku menatap Lissa dengan lembut.

"Seorang sahabat tidak peduli dengan apa yang menjadi kekurangan yang lainnya. Mereka saling berbagi, layaknya aku dan kau sekarang ini. Aku membagi kebahagiaanku dan kau membagi kesedihanmu itu denganku." Jawabnya. Mendengar jawaban tulus dari hati seorang yang berarti bagiku, membuat air mataku tidak dapat tertahankan lagi. Akupun memeluk Lissa dengan erat.

............................................................................................................

Pagi hari setelah seminggu aku dirawat di Rumah Sakit, aku harus kembali kerumah. Sebenarnya hal ini sungguh mengganjal perasaanku. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jika mereka memarahi dan mengunciku kembali di kamar yang gelap itu. Perasaan takut dianiaya dan disiksa itu kembali melandaku.

"Loki, kamu kenapa? kamu sudah memutuskan untuk pulang atau tidak? " Lissa yang sedari tadi berdiri disampingku tidak sabar menunggu. SUdah setengah jam kiranya aku dan dia berdiri di depan rumah keluarga angkatku. Aku pun hanya menggeleng pelan menjawab pertanyaannya.

" Mama ! Itu Loki !" seorang anak berteriak sambil menunjuk ke arah kami. Aku menatap Lissa, dan sepertinya ia menyadari perubahan di wajahku. Aku merasa wajahku memucat, aku panik dan takut. Lissa pun punya pengalaman buruk dengan kejadian seperti ini sebelumnya.

Dulu aku pernah kabur dari rumah melalui loteng dan tanpa sengaja bertemu dengan Lissa yang sedang bermain di dekat rumah. Kami pun berkenalan. Sejak saat itu, diam-diam kami sering bermain bersama. Tapi suatu waktu, seseorang dengan kasarnya menarik dan membawamu masuk kedalam rumah. Mungkin itulah yang membuat Lissa menjadi iba, karena mendengar jerit tangisku yang menyayat hati itu.

" Mana ?" tiba-tiba saja terdengar suara seorang wanita yang sangat familiar bagiku. Wanita itu berjalan keluar rumah dengan muka marahnya, bahkan yang lebih mengejutkan dia membawa sebuah tongkat kayu ditangannya.

" Anak kurang ajar ! Dari mana saja kamu ?! " Teriaknya marah sambil menarik tanganku dan memukul kakiku dengan kerasnya saat aku meronta menolak ikut dengannya. Lissa berusaha menarik tangan yang terus memukuliku tanpa henti. Wanita itu mendorong Lissa hingga terjatuh, Lissa terkapar. Kepalanya terbentur batu besar dipinggir jalan, Terlihat darah segar mengalir dari kepalanya. Aku tak percaya melihat hal itu.

" Masuk ! Cepat Masuk !" Wanita itu mulai menyeretku kedalam rumah. Aku terus berusaha memberontak, tapi sayang hal tersebut tidak dapat berlangsung lama. Aku tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan, sebab wanita itu memukul punggungku yang membuat batukku kembali menyerang bersama setetes darah yang keluar dari bibirku. Aku sadar, penyakitku sudah bertambah parah. Aku terus memanggil nama Lissa. Tapi dia tak juga sadarkan diri. Aku hanya dapat menangis, tidak dapat berbuat apa-apa.

Di dalam rumah, aku yang masih mencoba untuk berontak diikat kekursi, aku yang terus terbatuk dan bibirku yang masih mengeluarkan darah membuat orang rumah semakin kesal. Ayah angkatku menyuntikkan obat tidur padaku tanpa membersihkan luka yang mereka sebabkan padaku. Tak lama, pengaruh obat itu mengalir deras dalam nadiku membuatku mulai merasa ngantuk. Dalam keadaan setengah sadar, aku merasa mereka membawa diriku ke kamar loteng, yang sudah kuanggap sebagai 'penjara'. Mereka pun menguncinya.

Jam tua berdentum delapan kali, membangunkanku dari mimpi. Aku membuka mata, tanpa ekspresi dan suara langsung menghampiri jendela berharap Lissa tidak terlantar di jalan. Perasaanku sedikit lega melihat jalan di depan rumah yang bersih. Air mataku pun menetes perlahan, bayangan mengenai Lissa yang terkapar terus menghantui pikiranku.

........................................................................................................
 
 (FINAL)  LISSA'S SIDE

Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengan Loki. Kabar tentangnya pun tak kudengar. Untuk beberapa saat, aku berada di Rumah Sakit untuk dirawat karena kejadian itu. Untung saja ada temanku yang melewati jalan itu. Kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaanku sekarang.

" Selamat Pagi. Bagaimana keadaan anda hari ini ?" seorang suster menyapaku yang sedang duduk diatas tempat tidur.

"Ya, aku merasa agak sedikit membaik." jawabku lemas. Aku masih merasa resah dan cemas saat mengingat kejadian itu. Suara jeritan Loki masih terus mengiang di telingaku. Betapa bodohnya aku tidak dapat menolong Loki saat itu. Aku terus menerus menyalahkan diriku karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk sahabatku itu.

.........................................................................................................

Hari demi hari silih berganti, kondisiku sudah sehat sehingga aku pun bertekad menemui sahabatku. Aku datang kerumah Loki, dan memberanikan diri untuk mengetuk pintunya. Namun tiada seorangpun yang menjawab, rumah itu juga terlihat kosong.

" Maaf, non. Orang yang tinggal disini sudah pindah. Mereka pergi setelah anak angkatnya meninggal karena bunuh diri. " salah seorang tetangga mereka memberitahukan hal yang membuat hatiku bagai gelas yang pecah berkeping keping. Tangisku tak terbendung lagi, hal ini sangat membuat hatiku terasa pilu. 'Loki meninggal? tidak... itu tidak mungkin !' aku terus meneriakan kata ini dalam hatiku, rasa tidak percayaku begitu besar. Aku tidak percaya sahabatku pergi meninggalkanku dengan cara seperti ini.

" Jangan-jangan non yang bernama Lissa? " orang itu terlihat ragu saat bertanya padaku. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

" Ini, saya dapat titipan. Katanya ini buat Non. " kartanya sambil menyerahkan seamplop surat kepadaku. Akupun segera membuka surat itu setelah membaca tulisan 'untuk sahabatku Lissa' di sampul aplop tersebut.

Lissa,

Aku ingin berbagi denganmu. Seperti yang kau katakan, " Sahabat adalah berbagi  " . Aku ingin meminta maaf kepadamu jika akhirnya jadi seperti ini. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu, tapi yang kulakukan ini sudah aku rencanakan sejak dulu, bahkan jauh sebelum aku bertemu denganmu. Aku sudah tak sanggup lagi menahan beban hidup ini.

Lis, aku bersyukur dapat bertemu denganmu. Karena berkatmulah aku sanggup menjalani hidup untuk beberapa hari. Terima kasih, kamu adalah orang pertama yang menganggap aku sebagai sahabat baik. Yah, setelah beberapa hari kita berbicara, bagiku kau bukan sekedar sahabat bagiku, kau menjadi orang yang paling aku sayangi di dunia ini.

Teruslah hidup dan berjalan. Mungkin ini adalah pertama dan terakhir kalinya bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal.

Sahabatmu,
Loki

Aku pun meremas surat itu dan terus menangisi sahabatku yang mati dengan sangat mengenaskan. Tak pernah kubayangkan Loki akan melakukan hal ini. Aku membaca kembali pesan terakhir Loki untukku. Senyum kecil menghiasi wajah disela air mataku.

"Terima kasih kau sudah membagi kesedihan denganku, Loki. " sambil menyeka air mata, aku berharap Loki dapat mendengar kata-kataku ini dari alam sana.

............................................................................................................

Empat tahun berlalu, kenangan itu masih terus terpendam dalam diriku. Pengalaman yang menyakitkan itu telah membuatku terlibat dalam segala kegiatan sosial di kampus. Kini aku menjadi ' Ketua kegiatan Sosial untuk anak-anak Yatim Piatu ' . Aku juga membangun sekolah untuk anak-anak jalanan.

"Loki, aku berharap kau dapat melihatku disini. Semua ini berkat kamu, kesedihan yang kau bagikan padaku membuatku berbagi kebahagiaan kepada mereka. Terima kasih , Loki." aku tersenyum menengadah ke langit biru yang luas.


- * The End * -

0 comment(s):

Posting Komentar