13 Agustus 2011

Miss You Boy *Part 1*

"Hai Alice, lama tidak berjumpa. Apa kabarmu sekarang?" Tiba-tiba datang seorang perempuan menepuk bahuku dari belakang. Aku pun menoleh dan tersenyum padanya.

"Hai Yen, baik. Kamu sendiri?" Aku melirikkan mataku pada seorang laki-laki disampingnya. Dia hanya tersenyum lalu menjulurkan lidah. Dasar Yenny ini, lama tidak bertemu masih saja usilnya tidak hilang. Dia kemudian mengedipkan matanya padaku. 'Dasar..' kebiasaannya ini tidak pernah hilang. Pura-pura tidak peduli dengan laki-laki yang mengejar cintanya, tapi pada akhirnya sepertinya mereka jadian sekarang.

"Dia yang mengikuti aku datang kesini. Kau sendiri, apa datang sendiri?" Dia menjelaskan dengan suara pelan dan sambil menarik tanganku menuju tempat janjian kami. Ya, kami sedang mengadakan reuni. Dulu kami pernah satu tempat kerja sebagai pekerja paruh waktu.

"Tapi, kau suka diikuti kan? padahal dulu kau selalu merasa terganggu dengan kehadirannya. Seperti anjing dan kucing kalau bertengkar, membuat kepalaku pusing saja." Aku mengalihkan pembicaraan, berharap dia tak mengingatnya. Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu, sebab membuatku kembali teringat akan hal yang menyakitkan itu.
................................................................................................................................................

Hari itu aku sedang berjalan bersama dengannya. Tentu saja Yenny tidak mengetahui hal ini. Aku menyukai seorang laki-laki yang sangat aku impikan. Sikap dan Sifatnya sangat kusukai. DIa merasa aku menjadi perempuan yang patut dihargai, meskipun kenyataannya aku tidak memiliki suatu halpun yang dapat dibanggakan. Tidak kekayaan, tidak juga kecantikan, apalagi kepintaran. Aku hanyalah seorang gadis yang biasa-biasa saja.

Awalnya aku tidak mengira semua itu akan terjadi padaku. Sesaat setelah aku menyatakan perasaanku, ternyata dia hanya menganggapku sebagai teman biasa dan tidak lebih dari itu. Aku merasa itu hari naasku. Dia sudah memberikan aku sebuah pengharapan palsu. Aku dikatakan sebagai orang yang sangat polos mengira dia akan menyukaiku. Aku kesal dengan kata-katanya itu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Hari demi hari berlalu, hubungan kami yang tadinya masih biasa-biasa saja tiba-tiba berubah 180 derajat. Dia sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi. Bahkan dia berkata kalau kita tidak bisa menjadi teman dekat seperti sebelumnya. Dia tidak ingin kuganggu. 'Memangnya siapa yang menganggu siapa.. dia yang membuatku merasakan suka padanya. Dia yang membuat aku berharap, dia juga yang membuat aku nangis.. sudah seperti tempat penampungan air, air mataku mengalir terus.. dan sekarang kau tidak ingin kuganggu. Memangnya siapa dia..?' itulah pikirku. Tapi ternyata perasaan seperti itu hanya sementara saja. Lewat dari hari itu, tetap saja aku perempuan yang bertepuk sebelah tangan. Tetap saja aku menangis seperti orang bodoh. Meski aku merasa itu salah, tapi tetap saja yang namanya sakit itu tetap tidak bisa hilang. Apalagi, bagi seorang wanita yang seperti aku ini luka yang sudah ditoreh akan lama sekali sembuhnya.
........................................................................................................................................

"Alice, kau sendirian bukan karena hal yang itu kan? Jangan bilang kau masih belum bisa menyukai laki-laki lain karena merasa kau dikhianati ya. Jangan benci pada laki-laki, aku tidak mau sahabatku ini jadi menyukai sesama jenis, ya! AWW.." Aku langsung menginjak kakinya. Berharap dia dapat mengecilkan suaranya yang super besar itu. Lebih baik lagi kalau dia tidak membahas laki-laki jahat itu.

Dulu aku menyukai laki-laki yang salah, dan Yenny tahu ceritanya. Laki-laki yang pikirannya kotor itu, tidak ingin kuingat lagi. Berkatnya aku menjadi seperti sekarang ini. Sulit mempercayai laki-laki, malah hampir membenci laki-laki. Hanya dia saja yang kupercaya, ternyata memang salah percaya pada laki-laki. Laki-laki baik pun bisa menyakiti perasaanku. 'Ahh.. malasnya, memang lebih baik sendiri. Itupun baru aku bisa tenang kalau ibuku tidak menasihatiku terus-menerus mengenai calon suami.' aku berpikir seperti itu berulang kali. Berulang kali aku mencoba percaya mengenai tidak semua laki-laki seperti itu. Sampai pada akhinya aku bisa menyatakan perasaanku pada laki-laki yang kupercaya, dan yang kudapatkan adalah kekecewaan. Bertambah lagi satu alasan aku membenci laki-laki.

"Tenang saja, Yen. Meskipun dia membenci laki-laki juga, dia tidak akan menyukai sesama jenis. Bukankah Tuhan menciptakan kita berpasang pasangan? Lagipula, bisa kau lihat sendiri, anak perempuan lain mana yang menjadi sahabatnya selain kamu? selebihnya adalah laki-laki. Kalau dia membenci laki-laki lebih dari kemampuannya, dia bakal hidup sendiri di dunia ini. Mengerti tidak?" Baru saja aku ingin memukul anak ini, tapi ternyata malah aku yang dikejutkannya. David bertambah tinggi. Bukan aku yang memukulnya, dia malah menahan tanganku sambil tersenyum.

"Dave! kau datang? dasar kau ini. Teman-teman! Dave datang!! Dave datang!!" Yenny yang senang melihat kepulangan David dari Australia berteriak seperti anak kecil. Sepertinya dia tidak sadar kalau pacarnya itu sudah memelototinya. David memang orang yang pecicilan bagiku, tapi dia malah disukai semua anak perempuan ditempat aku bekerja. 'Dave kan imut...' itu karena kalian melihat dari sisi yang mana. Pecicilan seperti itu dibilang periang. Oh My God! Lebih baik aku menjauh dari kerumunan orang-orang ini.

"Hai, kamu baik-baik ajah kan Alice?" Tanya Romeo kepadaku saat aku menyingkir dari kerumunan DFC, Dave Fans Club, kami menyebutnya seperti itu. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Romeo mengerti perasaanku saat ini, sepertinya. Buktinya dia hanya diam. Biasanya sudah banyak bertanya. Dia memesankan minuman untukku.

"Hai, Rabbit! What's wrong with you today? I.. Ouch" Mulut Hansen langsung terhenti menanyaiku saat tangan Kenny menyikut perutnya. Aku tersenyum dalam hati. 'Dasar anak-anak...' Bukannya aku sok tua, tapi mereka memang seperti anak kecil. Kulihat Romeo dan Kenny memelototi Hansen. Jadi kasihan aku padanya.

"I'm Fine, Hansen. Nevermind I Swear." Dengan mencoba untuk terlihat tetap ceria aku tersenyum sewaktu menjawab pertanyaan Hansen padaku. Hari itu, mereka semua terlihat ceria sekali. Kami menonton di bioskop dan bermain bowling. Aku masih menghindari mereka, tak ingin ada seorangpun yang bertanya mengenai percintaanku. Aku masih merasa sedih, tapi tak ingin dikasihani oleh siapapun juga. Sejujurnya aku masih menahan air mata agar tidak mengalir saat mengingat laki-laki yang bernama Chriz itu. Berharap hari ini cepat berlalu, agar tidak perlu aku menyakiti diriku sendiri dengan menahannya terlalu lama. Kalau dirumah aku masih bisa mengalirkan air mata ini, tapi kalau di sini, bisa bikin merekabertanya dan aku tak mau hal itu terjadi.

"Ahh... Alice, kau tidak mencari seseorang untuk kau jadikan pacar? Apa karena kau tidak laku?" Tanya Aska polos. Dia memang gadis yang polos sekali, sampai tidak tahu kalau pertanyaannya itu cukup menusuk hatiku. Aku mencoba tersenyum membalas pertanyaannya.

"Aska, bisa kau tinggalkan Our Princess? Dan, jangan pernah sekali-kali bilang kalau dia tidak laku, oke?" Tiba-tiba pacar Aska mendekat dan melihat pada Aska dengan tatapan dingin. Kenny, dia memang selalu membelaku kalau Aska menggunakan kata-kata yang tidak enak didengar. Padahal dia adalah pacar Aska sejak SMA. Kalau dihitung, sudah lebih dari 5 tahun mereka berpacaran. Aska melihat sinis padaku, lalu meninggalkan aku dengan setengah berlari menjauh dari tempat kami tadi. Kenny pun meminta maaf dan segera mengejarnya. 'Dasar, kalau mau mengejarnya buat apa membuatnya berlari seperti itu. Kalau sayang padanya kenapa membela gadis lain?' aku benar-benar heran dengan kelakuan anak-anak ini.
.........................................................................................................................................

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami hari ini. Inilah yang kuraharapkan. Aku bersiap meninggalkan tempat kami bertemu sekilat mungkin. Tapi ternyata aku salah. Marco menahanku.

"Aku antar kau pulang. Sudah malam tidak sebaiknya seorang gadis pulang sendiri naik taksi." Sambil berkata seperti itu, Marco menarik tanganku. Calvin, Hansen, Romeo, dan Harry mengikuti kami dari belakang. Aku mengerti apa maksud Marco, tapi aku sedang ingin sendiri.

"Kita main ini dulu sebelum pulang. satu atau dua game tidak akan membuatmu terlambat sampai dirumah. Kalau mau marah, kalau mau menangis kenapa tidak kau keluarkan saja? Kubantu kau mengeluarkannya. Keluarkan saja tenaga yang berlebihan itu dengan ini." Marco berkata sambil menepuk nepuk mesin basket di sebuah arena bermain di tempat itu. Aku menggeleng dan berbalik meninggalkan tempat itu sebelum aku dihadang oleh 4 sekawan. Aku menarik napas panjang lalu kembali melihat ke arah Marco dan menganggukan kepala. Kami main 2 game. Entah kenapa, aku malah jadi mengeluarkan air mataku dan menangis sejadinya. Marco langsung memelukku, ditutupi oleh 4 sekawan tadi. Aku berterima kasih memiliki teman seperti mereka. Tapi hal ini pasti tidak akan bisa terjadi selamanya, pasti akan terhenti disaat mereka mempunyai pasangan mereka masing-masing. Dan aku yakin, saat itu aku pasti masih akan sendiri. Memikirkan hal itu hatiku menjadi semakin sedih.

Entah karena lelah menangis, entah karena memang sudah kering air mata ini. Akhirnya aku berhenti menangis. Aku tidak berani menatap wajah 5 sekawan. Aku malu kalau mengingat mereka akhirnya melihat aku menangis. Padahal selama ini aku adalah orang yang paling kuat diantara mereka. Terlihat begitu lemah, menangis karena cinta. Sangat memalukan.

"Sudah legakah? Menangis begitu lama, pasti lapar. Kita makan dulu, yah. Biar Calvin yang pandai merayu yang menelpon kerumahmu." Kata Marco tanpa menatapku. Aku tersenyum sendiri, pasti dia tahu kalau aku malu. Aku melirik jam tanganku yang saat itu menunjukkan pukul 11. Ternyata aku menangis 2 jam. Aku tertawa malu pada diriku sendiri. Aku melirik kembali pada baju Marco yang basah karena air mataku. Aku jadi merasa tidak enak.

"Iyah Ibunda Alice. Alice lagi kita ajak makan, tidak apa-apa, kan? Boleh yah, Ibunda Alice..." Kami tertawa pelan melihat ekspresi Calvin menelpon mamaku. Wajahnya saat memohon itu lucu sekali tidak beda antara memohon melalui telepon dengan memohon saat bertemu wajah. Lucu. Tak lama kemudian Calvin memberikan tanda Peace dengan jari telunjuk dan jari tengahnya itu. Marco langsung menarik tanganku menuju parkiran.

"Berniat menemani Sang Kelinci bermain 2 game, malah menemani 2 jam. Lapar sekali tahu tidak?" Kata Marco sambil menepuk perutnya. Aku yang baru saja membuka mobil di bagian tengah, Marco langsung menutupnya kembali. Dan memberiku kode untuk duduk didepan, disamping bangku pengemudi.

"Papa Marcoooo~ Mama Aliceee~" goda anak-anak padaku dan Marco. Dasar mereka ini, tidak pernah berubah.

"Anak-anak baik. Sini mama elus palanya~" Aku langsung memukul kepala mereka satu persatu saat 4 sekawan itu menundukkan kepalanya didepanku. Mereka langsung berwajah pura-pura sedih dan mengadu pada Marco, yang hanya ditertawakan.

"Makanya jangan nakal. Hahahaha !" Marco tertawa sambil pura-pura mengelus kepala mereka satu persatu. Lalu melihat padaku dan memakaikan seat belt padaku. Tak lama kami pun menuju tempat makan kesayangan kami. Seafood Bandar Jakarta di Ancol. Yah, memang. Kami selalu bercanda seperti ini, menganggap aku dan Marco sebagai papa dan mama.

"Calvin, tadi mama sama papa mesra banget, yah." Kata Hansen sambil memeluk Romeo yang disusul dengan anggukan Calvin lalu mempraktekkannya pada Harry yang dibalas dengan tampang jijik oleh Harry. kami semua kembali tertawa, saat itu aku bisa melupakannya meskipun hanya 5 menit, tapi itu cukup bagiku. Marco melihatku terus sejak aku menangis di bahunya. Bagaimana aku tahu? tentu saja tahu. Masa dilihat terus-menerus seperti itu tidak berasa? Sempat aku melirik melalui sudut mataku, dia melihatku sesekali. Mungkin dia takut aku kembali sedih. Kalau iya, mungkin dia pulang tanpa baju atau dengan baju tapi masuk angin. Karena bajunya pasti akan sepenuhnya basah kalau aku nangis lagi.

"Marco, apa kau tidak merasa dingin?" Aku khawatir dengannya, karena kalau dia sakit, semua ini adalah salahku. Siapa suruh air mataku sebanyak itu hingga membuat bajunya basah. Marco hanya menggeleng, tapi aku melihatnya sedikit gemetar. Aku tahu pasti dingin, Aku yang sudah menggunakan jaketnya saja sudah merasa dingin. Tanpa tunggu lebih lama lagi, aku melepaskan jaket yang dia pinjamkan padaku dan memakaikannya kembali pada yang empunya. Marco melihatku, tapi aku bilang aku tidak dingin.

Kami makan yang sudah kami pesan. Marco dan Calvin memesannya banyak sekali, tapi tiba-tiba saja aku tidak berselera. Aku melihat Chriz jalan bersama seorang teman. Dia melewatiku tapi tak melihatku. Entah sengaja, entah memang benar tidak terlihat. Aku hanya makan beberapa suap dan 5 sekawan lah yang menghabiskannya. Marco sempat bertanya kepadaku, tapi aku hanya menggeleng dan pamit ke toilet. Sekembalinya aku dari toilet, aku mengajak yang lainnya pulang.

.................................................Bersambung.......................................................

0 comment(s):

Posting Komentar