6 September 2011

Miss You Boy *Part 2*

"Kau kenapa Alice?" Tanya Marco dengan pandangan khawatir ke arahku. 4 sekawan pun ikut melihatku dengan wajah penuh tanda tanya. Aku tersenyum dan hanya menjawab kalau ini sudah semakin larut dan aku juga sudah lelah. Mereka pun mengerti. Untunglah mereka tidak pernah melihat wajah Chriz.

"Alice, apa kamu menyembunyikan sesuatu? Jujur, aku melihat wajahmu sebelum ke toilet. Kau seperti sedang melihat setan." Harry bertanya padaku dengan sedikit berbisik. Sepertinya dia tahuu, tapi belum yakin akan yang dibicarakannya itu. Aku tetap tidak berani memberitahukannya, aku takut Marco mendengar hal ini. Dia suka meledak untuk hal-hal yang mengangguku. Pernah waktu itu aku tidak sengaja berteriak karena tanganku sakit sewaktu ditarik oleh teman kampusku. Mungkin temanku itu juga tidak sengaja, tapi itu memang sakit. Marco tanpa berkata apapun lagi langsung memukul orang itu sampai hampir tewas. Marco itu orangnya baik, tapi kalau marah akan lebih seram dari monster manapun. Dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Maka itu aku sangat takut dia mengetahui hal ini.

"Sebenarnya, kamu itu sedih karena apa dan karena siapa?" tiba-tiba Marco menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dan menoleh ke arahku. Aku terdiam seribu kata. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, apa boleh buat aku harus berbohong, Marco tidak akan puas kalau belum mendapat jawaban. Inilah yang kutakutkan sedari tadi.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang sensitif terhadap segala sesuatunya. Aku kalah dalam nilai tugas, memang sih temanku itu hebat mengerjakannya. Tapi aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin. Aku sedih karena nilaiku tidak lebih bagus dari temanku yang mengerjakannya secara asal-asalan. Hanya begitu saja, kok." Jawabku pada Marco sekenanya tapi berusaha meyakinkan. Marco mengernyitkan dahinya seakan tak percaya pada jawabanku. Tak lama dia mengangguk.

"Oke, aku percaya. Kalau ternyata kau bohong. Kau akan kuhukum." 'Matilah aku..' Aku paling takut kalau Marco marah. Tapi lebih takut lagi kalau dia menghukumku. Dia bisa tidak mau berbicara denganku selama sebulan. Tapi, ya sudahlah, terlanjur berbohong masa mau dibenarkan, bisa makin mengamuk dia nanti.

Tak sampai 15 menit, kami sampai didepan rumahku. 5 sekawan mengantarku hingga depan pintu. Tapi ternyata mama dan papaku sudah tidur, jadi aku langsung menyuruh mereka pulang agar tidak kemalaman sampai di rumah mereka masing-masing. Terutama Marco, karena dia harus mengantar satu per satu.

"Tenang saja, hari ini mereka menginap di rumahku. Baru besok kuantar pulang." Jawab Marco menjawab kekhawatiranku. Aku hanya tersenyum mengangguk. Aku pun masuk kedalam rumah setelah melihat mobil Marco meninggalkan rumahku.
.............................................................................................................................................

Hari sudah pagi, matahari sudah terbit dan burung-burung menyapaku dengan kicauannya yang merdu. Entah kenapa hari ini badanku terasa kurang enak. Apa karena aku pulang terlalu larut malam, ataukah karena mimpi semalam? Aku sedikit kesal dengan diriku. Tapi apa mau dikata, mimpi tidak bisa kita yang mengaturnya, kan. Aku bermimpi mengenai Chriz. Aku bermimpi Chriz menyetujui untuk menerima cintaku, tapi disayangkan, saat kami menikah dia malah tidak datang ke gereja dan malah meninggalkan pesan bertuliskan kata maaf. Aku menangis hingga saat aku terbangun pun, aku sadar bantalku sudah basah karena air mata. Lelah, tapi rasanya kok air mata ini tidak kunjung kering. Memangnya sebesar apa kantong air mataku ini, ya.

Hari ini seharusnya tidak ada jadwal aku meninggalkan rumah. Tapi sepertinya aku memang harus ke suatu tempat yang bisa membuatku menghilangkan perasaan tidak enak ini. Mungkin kalau aku bisa menghirup udara segar, kondisi badanku bisa membaik.

Aku pergi ke sebuah arena Ice Skate di Jakarta. Ya, aku memang sangat menyukai olahraga yang satu ini selain berenang. Tapi karena udara di luar sedang panas, jadi aku tidak berenang melainkan ke arena ini. Aku membawa sepatu skate ku sendiri yang berwarna putih. Aku juga menggunakan syal, headphone, legging, dan baju berwarna putih. Seakan sedang berada di Ice Skate Arena di London, serba putih. Tentu saja aku menjadi pusat perhatian, aku jadi tertawa geli sendiri mengingat kepercayaan diri yang berlebihan ini.

Baru saja berkeliling 2 putaran, aku mendengar teleponku berdering. Maklum, aku bermain sambil mendengarkan lagu dari Blackberry Geminiku. Aku pun menjawab telepon, dan ternyata Marco melihatku dari kaca luar. Aku pun tersenyum menyapanya. Aku keluar dari arena, disusul Marco yang masuk dengan membershipnya.

"Hai, Marco. Kau datang sendiri? kok bisa tahu aku disini?" Tanyaku heran. Karena baru kali ini aku melihatnya datang sendiri, biasanya kan ada 4 sekawan.

"Aku memang mau bermain, ternyata kau ada disini. Warna pakaianmu sangat mencolok. Silau tahu. Hahaha... Aku tidak sendiri kok, nanti juga 4 sekawan muncul. Mereka yang mengajakku." Marco mengejekku. 'Dasar, sendirinya juga hitam dari atas sampai bawah...' ya, benar. Sepatu Skate Marco berwarna hitam. Aku dan Marco membelinya bersama. Calvin saat itu membeli warna merah, Harry warna hijau, Hansen warna salem, dan terakhir Romeo membeli warna abu-abu.

Tak lama kemudian, 4 sekawan memang muncul. Tapi dengan banyak sekali kantong makanan. 'Dasar, kalian ini mau main atau mau makan sih...' batinku melihat tingkah mereka yang sampai kehabisan tempat untuk memegang kantong makanan. Aku hanya menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. Marco pun tak menghiraukan mereka. Hanya menggelengkan kepala dan langsung menuju locker dan memakai Sepatu Skatenya, lalu menarikku kembali masuk ke arena.

"Hoi! ternyata kau mengajak Alice? Bisa bantu kami? Kenapa main ninggalin, sih!!" teriak Hansen. Marco hanya memberi kode untuk cepat masuk ke arena dan terus menarik tanganku. Aku hanya mengikuti Marco. Aku dan Marco sudah biasa main disini. Terkadang kami menghabiskan waktu seharian penuh, dari Arena ini baru buka hingga tutup. Kami berdua sih kuat, tapi 4 orang itu tidak bisa menahan lapar. Sangat lucu. Marco langsung memesan lagu Eyes On Me pada DJ. Lalu mengambil ancang-ancang. Beruntung hari ini memang sangat sepi. Mungkin bertabrakan dengan hari kerja dan hari sekolah.

"Jangan bilang kau ingin aku melakukannya juga." Aku menggelengkan kepala dan mulai menjauh darinya. Karena aku sedang tidak ingin dilihat banyak orang. Dia selalu begitu kalau melihatku murung di tempat Ice Skate. Mengajakku untuk menarikan lagu Eyes on Me. Terlambat aku menghindar, Marco sudah menarik tanganku dan langsung memberikan kode pada DJ untuk memulai lagunya. Aku spontan mengikutinya menari. Lagu Eyes on Me ini kamu berdua yang mengkoreograferkannya.

"Kita kasih lihat ke mereka semua kalau kita pasangan paling serasi di lapangan es ini." bisiknya di telingaku. Gerakan kami menyatu dengan musik yang bergema. Kami memang dianggap sebagai pasangan oleh pemilik Sky Rink ini. Karena saat kami menarikan tarian nafas kami seakan menyatu, sehingga gerakannya tidak kaku dan terlihat masing-masing. Sepertinya jiwa kami mengalir jadi satu. Saat berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu cinta.

"Iya, serasi bagaikan Angel and Devil ?" ledekku tak lama saat aku bergerak ke sampingnya. Lalu kami berdua tertawa. Bumi serasa hanya milik kami berdua, tiada orang lain disekitar kami. Memang benar, karena saat lagu Eyes on Me berkumandang, DJ menyuruh pemain Skate lainnya untuk keluar dari arena. Banyak mata memandang kami. Meskipun berkonsentrasi pada tarian, tapi aku dan Marco masih bisa bercanda pelan dalam bisikan, bahkan bisa tahu keadaan sekitar. Mata yang tertuju pada kami, kejadian yang berlaku selama kami menari, 4 orang yang kerjanya hanya makan, kami tahu semua itu, bahkan suara penonton yang terkadang terdengar histeris saat kami meloncat atau saat aku dilempar ke udara pun terdengar sangat jelas.

"Ada seseorang yang melihatmu terus dari tadi. Apa kau mengenalnya? Arah jam 8" Marco bertanya padaku dan menjelaskan posisi orang tersebut. Aku mencuri pandangan kearah sana. Ternyata aku salah. Tidak seharusnya aku melirik kesana. Akhirnya aku kehilangan konsentrasi. Marco melemparkan badanku ke udara, tapi karena aku tak siap, aku tidak menerima uluran tangannya dan terjatuh. Teriakan penonton terdengar begitu jelas. Aku gagal untuk pertama kalinya dalam hidupku selama aku menari. Marco langsung mendekatiku. Dia tampak khawatir, wajahnya pucat. 4 sekawan juga menghampiri kami.

"Kamu kenapa, Alice? Kenapa tidak menangkap tanganku. Apa kamu baik-baik saja, ada yang terluka?" Marco bertanya dengan nada yang sedikit terdengar gemetar. Aku tahu dia pasti merasa salah, tapi ini memang bukan salahnya. Aku hanya menggeleng pelan dan tersenyum menatapnya.

Marco dan Romeo Membantuku berdiri. Aku langsung jatuh kembali, terduduk diatas es. Marco cepat tanggap dan langsung mengangkat tubuhku dengan kedua tangannya dan membawaku keluar dari Sky Rink.

"Sini biar ku perban kakimu. Tadi aku minta perban ini dari Paman janggut merah." Itulah sebutan Hansen untuk Manager Sky Rink ini. 'Hehehe.. Paman janggut merah, kau ingin melucu ya Hans...' hatiku melucon. Sakit sekali, tapi lebih sakit lagi hatiku. Orang yang sedari tadi memperhatikan aku, tak lain adalah Chriz bersama seorang anak perempuan disampingnya. Kuakui, gadis itu lebih cantik dan lebih manis dariku. Tapi kenapa harus sekarang aku lihatnya, dan kenapa bukan nanti. Aku malu, gagal menari di depannya.

Marco yang sedari tadi memandangi aku dengan wajah yang terlihat begitu menghawatirkan keadaanku, tiba-tiba saja mengganti sepatunya, membereskan barang bawaanku dan barangnya, lalu dia pun mengganti sepatuku. Dia memberi kode pada 4 sekawan yang dijawab dengan anggukan. Aku tidak mengerti apa maksudnya tapi tak berapa lama kemudian aku tahu jawabannya. Marco menggendong tubuhku bak pangeran menggendong seorang putri. Aku melirik ke arah 4 sekawan, tapi mereka tidak mengikuti kami. Aku pun menutupi wajahku di bahu Marco. Aku tak mau melihat Chriz bersama pasangannya. Tapi memang kebiasaan manusia tidak pernah hilang, rasa ingin tahu yang terlalu besar membuatku mengintip dari bahu Marco. Chris tidak menampakkan wajah khawatir sedikitpun, dan perempuan itu mengamit tangan Chriz lalu mereka berbalik berjalan ke arah yang berlawanan. Hatiku semakin pedih, tak terasa air mataku kembali mengalir.

"Sakit, heh? Mau ke rumah sakit atau kupinjamkan bahu saja Putri kelinci?" Aku dikagetkan dengan pertanyaan Marco. Sepertinya Marco mengetahui apa yang terjadi. Aku hanya terdiam. Tak lama kami sampai dipelataran parkir. Marco mendudukan aku di bangku di samping pengemudi, dia pun terdiam memandangku. Aku hanya menunduk malu. Kedua kalinya aku menangis didepannya. Marco mengusap pelan pipiku, lalu memasangkan seatbelt dan menutup pintu mobil. Dia pun menyusul duduk di bangku pengemudi.

"Mau kemana kita?" tanyanya dengan setengah bergurau menirukan gerakan Dora the Explorer, sangat lucu melihatnya bersikap seperti itu. Bayangkan saja. Seorang laki-laki bertubuh besar dan gagah menirukan gaya dora. Cukup menghibur dan membuatku tersenyum meski hanya sekejap.

"Ke tempat yang bisa main kembang api, banyak balon, banyak anak kecil yang lucu dan imut, penuh tawa, dan bisa melupakan hal yang tidak enak. Mohon petunjuknya yah mbah Marco." kataku sambil mengatupkan kedua telapak tangan didepan wajahku, seakan sedang pergi ke dukun dan memohon untuk diberi bantuan. Marco hanya tersenyum, manis senyumannya bikin perutku kenyang. 'Ha..ha..ha..' tawaku dalam hati.

"Mana ada neng kembang api di siang bolong begini neng. Lebaran juga belom, Natal dan Tahun baru juga sudah lewat kali. mau kau yang kubuat jadi petasan? Hahaha...." jawabnya asal. Tapi memang benar, mana bisa ada kembang api siang begini. Kalaupun ada pasti tidak terlihat, hanya terdengar suara meledaknya saja. Kami berdua pun tertawa. Tak lama mobilnya melaju ke suatu tempat yang aku pun tak tahu akan kemana Marco membawaku, pastinya bukan mengantarku pulang karena arah jalannya berlawanan.

15 menit berlalu, Marco membawaku ke kampusnya. Dia menggendongku, lalu naik ke lantai paling tas menggunakan lift. ' Oh My God.. jangan biarkan dia menggombaliku lagi' aku sudah lemas begini pun harus mendengar gombalannya. 'Gak gak gak kuat gak gak gak kuat.....' 7-Icon pun kalah kali ga kuatnya.

Pintu lift terbuka dan kami sampai dilantai 7, lantai teratas gedung kampus ini. Hanya ada ruangan besar yang hanya ditutupi oleh kaca jendela yang besar. Tidak ada sebuah bendapun disini, kecuali sebuah Grand Piano  berwarna Hitam. Marco mendudukan aku di lantai mendekat ke kaca jendela hingga aku bisa melihat jalan dibawah. Marco memang selalu kesini setiap dia ingin bermain piano. Katanya hanya aku perempuan yang pernah dia bawa kesini mendengarkan permainan pianonya. Jelas aku tak percaya, meski ini ketiga kalinya aku dibawa kesini. Pasti ada anak perempuan lain yang pernah dibawa kesini.

"Alice, Close your eyes. I want to sing a song for you." Marco menaruh jarinya di kelopak mataku dan memintaku untuk menutup mataku. Tak lama kudengar suara langkah kaki dan dentingan suara Grand Piano dimainkan. Suara merdu Marco pun beralun menenangkan hatiku.

"Zhe jie shang tai yong ji, Tai duo ren you mi mi, Bo li shang you wu qi zai bei yin cang guo qu. Ni lian shang de qing xu, Zai huan yuan na chang yu..." Marco menyanyikan lagu kesukaanku tapi dengan arrangement yang berbeda karena dia mengubahnya agar bisa dimainkan di grand piano. Aku pun mengeluarkan air mataku tanpa suara.

 Suara Marco sudah tak terdengar lagi, tapi aku tetap menutup mataku sampai akhirnya aku memutuskan untuk membuka mata. Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku tadi. Marco sudah tak ada di ruangan ini. 'Kemana dia..?' sambil bertanya seperti itu dalam hati, aku melihat dengan mataku menelusuri tiap sudut ruangan. Tak lama lift terbuka dan Marco keluar dengan membawa minuman kaleng ditangannya.

"Ah, sudah membuka mata rupanya. Pasti haus kan? maaf ya, aku beli Pocari dulu tadi..." Marco menghentikan kata-katanya seakan terkejut karena aku langsung berlari dengan terpincang memeluknya. Entah mengapa aku melakukan hal ini, aku juga tak tahu. Tubuh ini bergerak dengan sendirinya. Lega rasanya mengetahui Marco tidak meninggalkanku sendiri.

"I'm just feel afraid you'll leave me alone, Marco. Sorry for doing this, but..." belum selesai aku berkata Marco langsung menjawab 'never mind..' seakan mengerti maksud ku, ia tetap membiarkan aku memeluknya. Beberapa saat kemudian tangannya bergetar, mungkin karena pegal memegangi 2 kaleng Pocari dingin ditangannya. Aku pun tersenyum dan melepaskan pelukanku. Aku menunduk malu setelahnya, menyadari kebodohanku itu.

"Don't be shy. I'll be anything for you. okay?" aku hanya mengangguk. Dia selalu mengucapkan hal itu. Menjadi apapun untukku. Memang benar. Marco selalu bisa menenangkan aku, dia bisa menjadi apa saja. Menjadi seorang ayah, menjadi seorang kakak, sahabat, teman, musuh, rival, adik, bahkan menjadi seorang pacar. Entah kenapa aku tidak pernah bisa mencintai dirinya yang sudah begitu baik padaku. Seperti ini bisa membuatnya sakit dan sedih, tapi dia tetap melakukannya. Aku merasa bersalah padanya. Tapi tak bisa dielak lagi, aku memang nyaman dekat dengannya.
...................................................................................................................................

0 comment(s):

Posting Komentar