5 Mei 2011

Complicated Love *Final Part*

Semua kenyataan sudah didepan mata, berusaha menghindarpun tak ada gunanya sama sekali. Kepalaku serasa ingin pecah. Masalah demi masalah terus ada dihidupku, bagai jalan lurus tak berujung. Ingin berputar kembali pun tak ada gunanya. Aku pulang kerumah dengan harapan kosong.

" Alice, Kakakmu mana ? " tanya mama dengan panik. Entah ada apa, rumah juga terlihat sangat aneh. Aku yang masih setengah sadar diantara kenyataanpun ikut bingung. Apalagi mama langsung menanyakan hal ini dengan tergesa saat aku membuka pintu rumah.

" Memangnya tidak ada dikamarnya? harusnya jam segini kan dia sudah pulang. " Jelasku sesingkatnya. Aku semakin bingung, apa yang membuat panik, sih. Aku hanya melihat mama menggelengkan kepalanya, dan papa memeluk mama menenangkan.

" Ga ada di kamarnya, Alice, tadi mama kaget ada surat ini dikamar mama. Mama langsung periksa kamar kakakmu itu, ternyata kamarnya sudah kosong. " Kata mama dengan berurai air mata sambil menunjukkan sepucuk surat kepadaku. Mendengar penjelasan mama aku jadi panik. Kuambil surat itu dengan segera lalu membacanya.

..............................................................................................................................
Untuk keluarga yang paling aku sayangi,
Alice, Nathan aku mau minta maaf ga bisa jadi kakak yang baik untuk kamu. Papa, Mama, maafin William yang ga berbakti ini. Aku sebenarnya sudah tahu tentang siapa aku sebenarnya. Aku bukan anak kandung papa dan mama, kan. Aku tidak punya hak untuk tetap berada di rumah ini. Terima kasih karena kalian semua sudah memberikan kebahagiaan kepadaku yang anak yatim piatu ini. Aku sayang kalian semua.


William

....................................................................................................................................

Aku tahu kakak sedih tapi kenapa harus pergi dari rumah, sih. Mama dan papa mengadopsi dia kan untuk jadi anak, jadi dia juga anak mama dan papa donk. 'Haduh, kok masalahnya jadi tambah rumit, sih!' geramku dalam hati.

" Mama sama Papa mengerti surat kak Will, kan? Dia sudah tahu kalau dia bukan anak kandung di keluarga ini. Kenapa Mama sama Papa merahasiain ini, sih? " aku menjelaskan ini kepada Mama dan Papa yang terkejut mendengarnya. Aku hanya menarik napas panjang dan terduduk lemas di depan pintu. Aku marah sama semuanya sekarang. Tak ada tanggapan dari mereka berdua yang hanya mengeluarkan tampang terkejut, aku melemparkan amplop yang berisi data anak yang bernama "Will" itu kebawah kaki Mama, dan langsung keluar dari rumah. Aku tahu ini sangat kurang ajar, tapi aku juga tidak suka dengan keadaan ini.

Aku menyusul Andreas yang tadi mengantarku sampai rumah. Saat aku keluar rumah, Andreas baru saja menyalakan motornya. Beruntung dia masih sempat aku panggil. Dia pun mematikan kembali mesinnya dan membuka helm. Dia terlihat bingung melihat wajahku yang terlihat cemas.

" Andreas.. Kak Will kabur dari rumah. Aku sedih. Masalah gossip di sekolah saja belum selesai, sekarang masalahnya bertambah lagi. " Kataku sebelum Andreas sempat membuka mulutnya untuk bertanya. Andreas menghiburku dengan mengelus kepalaku. Aku senang, disaat aku sedih seperti sekarang ini, walaupun hanya seorang Andreas yang membuatku tetap tidak sendirian. Hari ini juga Andreas baik padaku, menemaniku dari pagi. Tapi, kemana aku harus mencari kak Will sekarang ini.

" Kamu jangan sedih dan khawatir, ya. Aku pasti bakal nemenin kamu sampai semua masalah ini selesai. Aku yakin kamu akan bisa mengakhiri semua ini, dengan bantuanku pastinya " Dia berbicara dengan senyum menghias diwajahnya, membuat hatiku sedikit tenang.

" Kamu yakin bisa mengakhiri semuanya ini ? " Aku bertanya padanya meyakinkan kata-kata yang telah diucapkannya tadi. Andreas hanya mengangguk yakin. Aku yang tidak yakin. Pasti dia hanya bermaksud menghibur aku. Terima kasih ya, Andreas. Aku mengeluarkan wajah tidak percayaku padanya.

" Ih, ga percaya pasti nih orang. Begini, deh. Pasti kamu mau tahukan kakakmu yang menyebalkan itu ada dimana sekarang ?" tanyanya dengan nada seperti para peramal di pasar malam.

" Hah ! Kamu tahu kakakku ada dimana? benar? " tanyaku tak percaya tapi semakin penasaran. Berharap ini benar-benar terjadi.

" Taulah ! kalau ga tahu buat apa aku bilang aku tahu. " Jawab Andreas singkat. ' Iya juga, sih. Dia kan paling ga suka basa- basi.' aku mengingatkan diriku sendiri.

" Oke, dimana ?" tanyaku singkat dan jelas. Aku tak mengira akan mendengar hal menakjubkan yang membuatku tak percaya.

" Ada di rumahku. " Kata Andreas tersenyum bangga. Aku hanya melongo. Benar-benar jawaban yang tidak seperti kubayangkan. 'Dunia itu sempit' lumayan merasa terhibur. Tak lama telepon genggamku berbunyi, tulisan 'Mama' ada di layarnya. Aku pun mengangkatnya dengan berat hati. Kesal masih menghantui hatiku.

" Alice, Mama mohon kamu cari kakakmu, ajak dia pulang. Mama dan Papa akan menjelaskannya semua setelah kalian sampai rumah. Kalau setelah mendengar penjelasan mama dan Papa dia masih mau pergi...
" Telepon kuputuskan begitu saja, tak ingin mendengarnya lebih lanjut. Menangis pun tiada gunanya kalau kak Will terlanjur tidak mau pulang lagi. Tapi aku tak putus asa begitu saja. Aku langsung menuju rumah Andreas untuk membujuk Kak Will pulang.

............................................................................................................................

Sesampainya di rumah Andreas, aku melihat kak Will sedang duduk di balkon kamar Andreas, itu kata Andreas. Aku ikut Andreas masuk ke rumahnya yang kebetulan sedang tidak ada siapa-siapa. Andreas mencoba membuka kamarnya yang ternyata sudah dikunci oleh kakak dari dalam.

" Kak, tolong ! Pulang ke rumah sebentar saja. Kita harus dengar penjelasan Papa dan Mama. " kataku memohon sambil mengetuk pintu kamar itu. Air mataku hampir mengalir.

" Untuk apa? kamu juga sudah tahu kan pasti tentang kenyataan ini... kenyataan kalau aku..aku.. bukan kakak kandungmu.. " teriak kak Will yang semakin mengecil. Pertanda kesedihan ini pun tak dapat ia terima. Mendengar kata-kata kak Will air mataku pun tak tertahan. Aku menangis, tanganku pun tak kuasa mengetuk pintu lagi. Melihatku seperti ini, Andreas sepertinya tak tahan juga.

" Hir sepertinya kamu harus pulang dulu sekarang. Buka pintunya atau kudobrak! " Teriak Andreas. tangannya menggedor pintu dengan sangat kuat. Terlihat, ancaman itu sangat mengena. Kak Will pun membuka pintu dan keluar. Tapi tetap belum mau pulang bersamaku. Setelah dibujuk dengan keras dan ancaman dari Andreas, Kak Will pun akhirnya ikut pulang bersamaku. Kali ini Andreas tidak ikut, dia hanya memintaku untuk mengabarinya apapun yang terjadi. Aku dan kak Will pulang naik taksi.

...............................................................................................................................

Sesampai dirumah, Mama dan Papa sudah menunggu kami di ruang tamu. Ayah memulai pembicaraannya setelah aku dan Kak Will duduk dihadapan mereka.

" Will, Alice, kalian itu bersama Nathan adik dan kakak dulu, sekarang, dan selamanya. Kamu itu anak kandung kami, Will. Ini semua hanya salah paham saja. Kalian semua anak kandung Mama dan Papa tidak ada pengecualian. " Ayah menjelaskan dengan sikap wibawanya.

Papa dan Mama pun menjelaskan keadaan yang sebenarnya yang menurutku cukup untuk meluruskan keadaan yang kusut ini. Surat adopsi itu bukanlah surat adopsi kak Will melainkan surat adopsi sepupuku yang sekarang namanya telah berganti menjadi Bryan. Tante Milly, tanteku, menitipkan surat itu karena takut anaknya menemukan surat tersebut. Untuk menghilangkan bukti, maka itu anak dari Mama dan Papa diberi nama yang sama dengan surat itu.

" Jadi, Kak Will adalah kakak kandungku, kan ?" tanyaku untuk meyakinkan diriku sendiri atas apa yang kudengar.

" Kalau dia bukan kakak kandungmu, memangnya dia kakekmu ? " mama meledek kami. Aku pun bersorak kegirangan. Mama dan Papa hanya tersenyum lega melihat anak-anaknya. Kak Will pun mengerti dan tidak jadi meninggalkan rumah. Satu masalahku selesai tapi masih ada satu masalah lagi yang hampir terlupa olehku karena kegembiraan ini. Akupun menelpon Andreas dan menceritakan semuanya. Andreas mengucapkan selamat padaku dan kembali menyombongkan dirinya atas jasanya dalam masalah ini. Bagiku itu tidaklah penting, malah kalau bisa aku akan mengucapkan beribu, berjuta maupun bermilyar terima kasih kepadanya.

...............................................................................................................................

Hari merupakan hari yang paling menyenangkan disekolahku karena hari ini Chanessia tidak masuk. Yah.. meskipun gossip itu tetap ada di sekolah dan bukannya ikur Chanessia untuk tidak masuk. Dan menurut kabar yang kudengar, kemarin ini Chanessia baru saja pacaran dengan anak Sekolah lain yang bernama Darius, sedangkan Sebastian, kata Andreas dia baru saja menerima pernyataan cinta dari sesama kelas 2 yang bernama Cynthia. Hal itu menambah kebahagiaanku, 'Tiada pengganggu lagi' pikirku.

"Hari ini aku senang sekali ! " Teriakku pada Andreas. Andreas hanya refleks menutup telinganya itu. Aku hanya tertawa.

" Benar, yah kata kakakmu. Kamu itu terlalu mudah merasa senang. Jangan terlalu cepat senang dulu, deh." Kata Andreas. Aku jadi heran, aneh sekali. ini adalah hal yang jarang bagiku melihat wajah Andreas yang serius seperti memikirkan sesuatu.

" Kenapa memangnya ?" tanyaku penasaran.

"Masih ada satu masalah lagi, kan? " tanyanya sambil menunjuk kepada anak-anak kelas lain yang bergerombol menatap dan membicarakan mengenai kami. Aku berpikir mengenai apa dan.. Aduh ! Kok aku bisa lupa, ya? Gossipku dan Andreas harus hilang dulu dari sekolah ini.

" Wahai peramalku, Punyakah engkau sebuah cara yang dapat menghilangkan Gossip ini ? " tanyaku berpura-pura sedang meminta ramalan nasib pada peramal. Andreas hanya menatapku dan menarik kepalaku. Aku hanya mengernyitkan dahi dan mengikuti saja.

" Kita bikin gossip ini jadi kenyataan, Pacaran. " Bisiknya di telingaku. Aku membelalakkan mata tak mempercayai apa yang kudengar tadi. 'Pacar? Oh My God !' Aku langsung melemparkan pandangan meminta jawaban serius darinya. Karena kuanggap tadi dia hanya bercanda. Gilanya itu belum hilang rupanya.

" Hei! ga sopan, ya. Aku serius tahu. Aku sayang sama kamu dari awal kita ketemu. Kamu mau ga jadi pacar aku ?" Teriaknya dengan nada pelan. Aku hanya menatapnya dan kemudian tersenyum mengangguk. Aku tak dapat membalas pernyataannya itu dengan kata-kata, tapi hanya dengan memeluknya. Teman-teman yang lain yang ada di kantinpun menyoraki kami. Malu, sih tapi.. senang. Akhirnya aku punya pacar. Hehehe.. Bagaimana dengan kamu?

..........................................................The End.......................................................

0 comment(s):

Posting Komentar