3 Mei 2011

Complicated Love *Part 6*

Hanya 4 buah kata yang tanpa sengaja kuucapkan itu, sekarang aku dan Andreas menjadi topik utama disekolah. Mereka pikir aku dan Andreas benar-benar pacaran. Dan lagi-lagi masalah menjadi rumit karena foto kami pada malam di pantai itu tertempel di Mading sekolah. Sepertinya ada orang lain disana tanpa kami ketahui, pasti dialah orang yang membuat foto itu dan menempelkannya.

"Andreas, bagaimana ini. Kita dikira pacaran. " kataku panik. Tadinya dia sedang jalan menuju kantin, tapi aku langsung menariknya untuk membicarakan masalah ini. Tapi sepertinya dia tidak memperdulikannya.

" Salah kamu sendiri. Kenapa ngomong sembarangan. " Andreas menjawabku dengan ketus. Aku menarik lengan bajunya saat ia hendak melangkah pergi.

"Iya, aku tahu aku salah. Tapi itu kan ga sengaja. " aku menjelaskan dengan nada menyesal. Aku memang benar-benar menyesal. Apa boleh buat, penyesalan memang selalu datang terlambat bukan ?

" Bodo, ah ! " Katanya seraya meninggalkanku sendirian. Kenapa sih orang itu, ini kan masalahya sudah gawat. Masih bisa yah dia cuek kaya begitu. Aku pun menunduk lemas dan berjalan menuju kantin. Saat berada dikantin Andreas tidak ada. Aku pun duduk di meja tempat ku biasa makan siang, hanya saja hari ini aku hanya minum jus Anggur kesukaanku.

"Uhm, Sendirian ? " Sapa seseorang yang setelah kumengangkat kepala kuketahui orang itu adalah Sebastian. Aku hanya menundukkan kepalaku kembali dan mengangguk pelan.

" aku duduk disini boleh? " tanyanya sembari menunjuk bangku kosong didepanku. Aku mengangguk dengan terpaksa memperbolehkan dia duduk disana, padahal aku sedang ingin menyendiri sekarang ini. Kenapa juga disaat seperti ini muncul alien aneh seperti dia. Dia kan rada 'Telmi' semoga saja dia ga menyadari gossip yang beredar ini. Aku mencoba secepat mungkin menghabiskan minumanku tanpa menyinggung Sebastian.

" Alice, kamu benaran pacaran dengan Andreas, ya ? " tanya Sebastian mengagetkanku. Aku yang sedang minum pun tersedak karenanya. Jus Anggur itu terasa menyumbat tenggorokanku. Kenapa sampai orang kaya dia juga tanya tentang masalah ini juga. 'Oh please, jangan tanya lagi.' Hampir semua yang kutemui menanyakan perihal ini. Aku sudah sangat lelah dan bosan. Akhirnya aku hanya menjawab pertanyaannya dengan gelengan pelan.

" Terus masalah yang di pantai itu ? Kalian benar berduaan sampai pagi, kan ? " Tanyanya setengah memaksa. Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Aku sangat yakin dan seyakin-yakinnya ini semua adalah ulah Chanessia si anak baru itu. Baru masuk saja sudah bikin aku dalam masalah yang ga jelas seperti ini.

...................................................................................................................

Dear Diary,
Minggu ini ternyata minggu yang sangat menyebalkan. Tidak seperti minggu sebelumnya,sejak kedatangan anak baru bernama Chanessia itu, hidupku lebih parah daripada di neraka. Padahal waktu Fenni dan Andreas berulah saja tidak separah ini. Sampai sekarang saja, gossipku dan Andreas belum juga reda. Memang sih ini karena kesalahanku sendiri, mulutku terlalu lancar. Tapi itu kan tidak sengaja! Pokoknya aku benci sekali yang namanya Chanessia itu. Huft, ya sudahlah bukan Alice namanya kalau menyerah sekarang.

...............................................................................................................

" Kak Will... ! Kak Will... " aku memanggilnya karena kupikir aku bisa berdikusi dengannya mengenai masalah ini. ' tapi kok ga ada jawaban, ya? jangan-jangan dia minggat lagi dari rumah. ' begitu pikirku. Yah, kuputuskan saja untuk melihat kekamarnya sekalian mengacak sedikit.

Saat aku masuk ke kamarnya, hanya 2 kata yang kuucapkan secara spontan. ' Berantakan sekali !' baju kotornya berserakan. Lebih pantas disebut tempat sampah daripada kamar tidur.

" Kok, dia bisa nyaman di tempat seperti ini, sih..." Kataku berbicara sendiri. Niat awal mengacak-acak kamarnya malah sudah berantakan duluan. Malah jadi bantuin dia ngebersihin kamar, deh. Kamar kaya kapal pecah begini kapan selesai diberesinnya. 'Ah, mendingan ga usah ajah deh. Toh, kamar dia sendiri' Tapi bimbang muncul dihatiku. Kamar ini juga merupakan bagian dari rumah dimana aku tinggal dan aku paling ga mau ada satu ruangan pun di rumah ini yang berantakan. Maklum ini bawaan sifat golongan darah A.

Akhirnya dengan sedikit rasa terpaksa dan kecewa dengan sifatku sendiri, aku membereskan kamar kak Will. Pakaian yang berserakan lebih dulu kubasmi, berlanjut ke buku-bukunya. Saat aku tengah merapikan buku-buku itu kembali kedalam lemari buku, aku menemukan satu buku yang sangat menarik perhatianku, buku harian kak Will. ' Wow, ternyata anak cowok punya buku harian juga!' pikirku. Karena setahu aku yang mempunyai buku harian itu hanya anak perempuan saja, ternyata aku salah. terbersit keinginan untuk membacanya tapi ragu karena yang namanya buku harian pasti bersifat pribadi. Setelah menimang beberapa menit akhirnya kuputuskan tetap membacanya. 'Kak Will kan kakakku, memangnya harus ada yang dirahasiakan...' senyum licik menghias wajahku karena rasa senang yang berlebih dapat mengetahui rahasia kakakku. Kalau saja aku dapat menemukan suatu hal yang memalukan dalam hidupnya, akan kupakai untuk membalasnya kalau dia berani mengerjaiku lagi.

Aku semangat membacanya. Kak Will rajin juga, dia menulis segalanya dibuku ini. Banyak sekali hal yang dirahasiakannya dariku, padahal selama ini aku selalu meminta pendapatnya dan berkeluh kesah sepanjang waktu padanya. Buku ini berisi semua keluh kesahnya. Mulai dari nilai ulangannya yang pernah jelek, sampai masalah wanita yang disukainya. Setiap lembar kubaca, akhirnya aku menemukan suatu lembaran yang tertulis mengenai hal yang sangat membuat ku tak percaya pada mataku sendiri. Aku membacanya berulang ulang. Buku itupun jatuh dari tanganku yang tak tahu harus bagaimana.

....................................................................................................................

Temanku, hanya padamu aku bisa bercerita mengenai masalah ini. Hari ini aku masuk kekamar mama saat mencari kunci kamarku yang kutitipkan padanya, dan tanpa sengaja aku melihat setumpuk surat yang terlihat penting. Saat aku berniat membantu membereskannya, tiba-tiba aku menemukan sebuah amplop yang berisikan surat adopsi. Aku melihatnya dan anak yang diadopsi itu adalah seorang anak laki-laki. Hanya ada satu anak laki-laki dirumah ini dan itu adalah aku. Perasaanku hancur berkeping-keping karena mengetahui ternyata selama ini mama dan papa menyembunyikan kenyataan bahwa aku bukan anak kandung mereka, aku bukan keluarga di rumah ini.

..................................................................................................................

'Kak Will bukan kakak kandungku?'  Pertanyaan ini terus mengiang dikepalaku. Ga mungkin kan, aku ga percaya ini semua. Ini pasti sebuah kekeliruan, kesalah pahaman. Kalau kak Will bukan kakakku, lalu dia siapa? Pasti bohong! Saat aku sedang kebingungan seperti ini, tiba-tiba saja pintu kamar kak Will terbuka.

" Uhm, kayanya aku salah kamar, nih.." kata kak Will dengan wajah linglungnya.

" Habis dari mana, kak? " tanyaku langsung untuk menahannya tidak pergi dari kamar ini.

" Ah ! kamu siapa ? " Dia bertanya dengan wajah kaget yang dibuat-buat sama seperti saat dia mengejekku.

" Aku Alice, masa ga tahu !" Geramku memprotes gaya bicaranya itu. Kak Will hanya tertawa lepas. Akupun menanyakan kembali pertanyaan yang sama dan dijawab olehnya kalau dia baru saja pergi dengan Chanessia. Aku hanya dapat menarik napas panjang mendengar jawabannya. ' Ih.. Kok ga ngerti-ngerti, sih. Kakakku yang baik.. dia itu biang onar yang membuat aku terkena gossip sama Andreas....!' Kakakku yang ini memang tidak peka, yah. Aku yang adiknya benci setengah hidup, eh kak Will sebagai kakaknya malah pergi dengan orang itu.

" Alice, kamu yang bersihin kamarku, yah ? " tanyanya sambil membanting badannya ke tempat tidur.

" Bukan aku kok, kak. Mungkin setan kamar kakak ga betah lihat kamar kakak berantakan makanya diberesin. " Kataku menjelaskan dengan nada kesal.

" Oh, gitu... Terus, kira-kira setan di kamar kakak itu laki-laki atau perempuan, yah? " Tanyanya lagi dengan nada polos, sengaja membalikkan kata-kataku. Aku memang tak pernah menang dengannya kalau sedang bermain kata seperti ini. Karena lama tak mendapat jawaban dariku, diapun bangun mengambil sikap duduk dan melihat kearahku.

" Ehm, kayanya dua-duanya, deh kak. " Jawabku ngasal karena pikiranku masih pada isi buku harian kak Will dan aku tidak mau sampai kak Will tahu aku membacanya. Tapi ternyata itulah yang menyebabkan aku kalah bermain kata dengan kakak selama ini.

" Maksudnya kamu sepasang ?" Tanya kak Will penasaran sambil mengerutkan dahinya melihatku.

" Bukan, maksudku campuran. " Jawabku semakin gugup. Apa saja yang lewat di otakku sekarang kukeluarkan dalam bentuk kata-kata.

" Berarti kamu waria, donk !" Ledek kak Will. Diapun tertawa keras sekali. Aku yang masih belum mengerti, hanya melongo diam memikirkan maksud dari kata-katanya.

" Enak saja! " aku menjawab dengan nada pura-pura marah sambil menimpuk dengan bantal tidur Kak Will sendiri. Akibat bacaan yang belum jelas, aku malah jadi telat mikir begini. Akupun bercanda dengan Kak Will setelahnya, bermain kata-kata seperti biasa. Saat bercanda dengan kakak, semuanya terlupakan. Mulai dari masalahku disekolah hingga apa yang aku baca tadi.

Malamnya saat pergi tidur, baru aku mengingat dan memikirkannya kembali. Aku sudah memutuskan untuk mencari kepastian dari masalah ini. Tapi bagaimana caranya, ya. Aku tidak mungkin bertanya langsung pada mama ataupun papa. 'Sepertinya Andreas mau menolongku saat ini,' aku meyakinkan diriku sendiri karena kupikir Andreas lebih dewasa daripadaku dan lebih mengerti pastinya apa yang harus dilakukan.

....................................................................................................................

Pagi-pagi sekali aku bangun, kebetulan ini hari Sabtu jadi tidak ada yang tahu kalau aku pergi. Mama dan Papaku pergi bersama Nathan, adikku kerumah nenek dari papaku. Sedangkan kak Will ada kegiatan di sekolah. Dengan segera aku menelpon Andreas dan mengajaknya bertemu di mall dimana kami pernah bertemu berempat dengan Fenni di tahun ajaran baru. Mengingat kata-katanya di pantai waktu itu, aku yakin dia sudah tahu mengenai masalah kak Will ini yang bukan kakak kandungku.

" Andreas.. aku sudah tahu mengenai Kak Will yang bukan kakak kandungku...." Suaraku mengecil. Andreas tak memperlihatkan wajah terkejutnya. Mungkin dia pikir sudah sepantasnya aku tahu ini pada akhirnya. Andreas hanya menanyakan apakah kak Will tahu aku mengetahui ini yang kujawab dengan gelengan kepala. Aku sudah terlalu sedih dan rasanya mulut ini tak mau mengeluarkan sepatah katapun.

" Kamu jangan terlalu sedih dulu. Kamu saja belum yakin kan, makanya nyari aku. " Andreas mencoba menghiburku. Tapi tak terlalu kutanggapi, pikiranku sedang melayang entah kemana. Kak Will yang selama ini aku sayang sebagai kakak, kalau ternyata kenyataan nya dia benar bukan kakak kandungku. Aku harus menganggap Kak Will sebagai apa?

" Kamu mau nyari kebenarannya kan? aku temenin, deh. Kamu mau bagaimana dulu? " Andreas langsung berbicara seperti itu saat aku menatapnya.  Dia seperti mengerti aku sekarang. Aku pun menjelaskan maksudku untuk mencari tempat tinggal Kak Will sebelum dia di adopsi, sebelum pergi tadi aku menyempatkan diri masuk ke kamar mama untuk mengambil amplop berisi surat adopsi yang dimaksud oleh kak Will dari buku hariannya itu. Maksudnya untuk mempermudah dalam mengumpulkan informasi.

" Ide kamu bagus sekali, cemerlang. Oke, kita lihat tadi kalau ga salah baca Asrama Maria, ya? Aku tahu kok tempatnya, ga begitu jauh dari sini." Andreas menyanggupi dan memuji rencanaku itu. Beruntungnya dia tahu dimana tempat yang akan kami tuju. Aku mengajaknya untuk bergegas, karena semakin cepat kami bergerak, semakin cepat pulalah kebenarannya terkuak. Andreas sempat bertanya padaku kalau-kalau aku berniat memberitahukan hal ini kepada kak Will lebih dulu, tapi aku menolaknya.

...................................................................................................................

Tak lama kamipun sampai di Asrama yang dimaksud. Tidak memakan waktu banyak karena kami kesini dengan menggunakan motor. Sebelum aku masuk asrama, aku melihat beberapa anak kecil yang tinggal disini. Aku langsung membayangkan Kak Will yang dulu masih kecil dan lucu ada diantara mereka.

" Alice, kenapa melamun disini ? " Andreas ternyata memperhatikan aku sedari tadi. Aku menggeleng pelan dan masuk asrama tersebut mengikutinya. Asrama itu begitu besar. ' Kalau benar kak Will dulu dari sini dan masih disini, sekarang pasti aku sedang kesepian.' pikiranku melayang jauh.

" Selamat siang, Suster. " Andreas menyapa seorang Biarawati di kapel asrama tersebut. Biarawati itupun membalas sapaan dengan ramah. Beliau menanyakan maksud dari kedatangan kami kemari.

" Kenalkan nama saya Andreas, dan ini teman saya namanya Alice. Kami kemari bermaksud mencari data seseorang yang pernah diadopsi disini. " Andreas menjelaskan dengan baik. Aku tak tahu apa yang dapat kulakukan tanpanya sekarang ini. Biarawati itu mengajak kami ke kantornya.

" Andreas, terima kasih, ya.." Kataku menarik ujung baju kemeja yang dikenakannya itu. Mungkin kalau tidak ada dia saat ini, aku hanya bisa menangis. Tak lama kami sudah di depan sebuah ruangan, sebelumnya kami menolak dengan halus saat ditawari minuman.

" Kalian mau menanyakan tentang siapa? apa kalian tahu namanya ? " Tanya Biarawati tadi. Sambil membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk. Ternyata ruangan itu adalah tempat penyimpanan arsip dan data anak asuh di asrama ini.

" Kami ingin mencari tahu mengenai data seorang anak yang telah diadopsi. Anak itu bernama Will. Apakah benar dia berasal dari asrama ini ? " Tanya Andreas pada Biarawati itu dan Beliau langsung mencari datanya. Banyak sekali map data disini hingga berdebu. Sepertinya anak asuh di asrama ini sangat banyak, apa suster itu masih ingat dimana data anak yang mana, ya? Tapi hal itu tak terlalu kupikirkan sebab pikiranku tertuju pada map merah yang dipegang oleh suster Biarawati tersebut. Beliau menyerahkan map itu pada Andreas yang diteruskan padaku.

"Apa ini Will yang kalian cari? kebetulan hanya satu anak yang bernama Will yang pernah tinggal di asrama ini. Dia anak yang baik." Beliau bertanya pada kami memastikan. Aku berdoa terus menerus sebelum membuka map merah itu, berharap Will yang ada di asrama ini tidak sama seperti surat yang ada di tanganku sekarang.

Aku membuka map merah itu dan membuka mataku perlahan. Baru saja aku melihat foto yang tertempel di kertas data itu, kakiku langsung lemas. Fotonya sama dengan surat yang kupegang itu berarti...

"Will ini sudah diadopsi sekitar 15 tahun yang lalu tepat tanggal 25 Februari saat ulang tahunnya yang ke 3. " Suster itu menambahkan. Kakiku langsung terasa lemas. Aku terduduk diam di lantai ruangan itu. Andreas spontan memegang tanganku. Ia terkejut atau mungkin takut aku pingsan.

" Itu tanggal ulang tahun kak Will..." Aku berbisik pelan. Aku yakin Andreas mendengarnya, karena wajahnya pucat pasi. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu, tapi aku tak bisa memikirkan hal lain lagi. Kepalaku terasa berat.

.................................................................................................................

0 comment(s):

Posting Komentar