7 Mei 2011

Imaginary Friend *Part 1*

" Miki, kamu mau ikut kita-kita ga ? " Entah angin apa yang membuat mereka mengajakku. Tak biasanya, karena aku termasuk anak yang selalu dikucilkan disekolah. Karena takut dikucilkan kembali, akupun menjawab ajakan itu dengan anggukan kecil.

" Oke, deh kalau begitu. Mulai sekarang kita teman, yah ! " Michael menjabat tanganku seperti baru pertama kali kenalan. Padahal, kami sudah hampir 2 tahun sekelas. Yah, ada baiknya juga berteman. Aku tidak perlu merasa sendirian lagi. Hatiku merasa sangat senang, membuatku tersenyum. Mereka hanya terdiam melihatku tersenyum, aku jadi merasa ada yang salah dengan senyumku ini.

" Wooaahh ! Senyummu ternyata manis, yah ." Puji Nathan kepadaku, terlihat yang lain setuju dengan menganggukan kepalanya. Nathan adalah ketua kelompok mereka, tentu saja mereka setuju saja. Aku cukup tersanjung, meski aku ga tahu apa itu benar pujian atau sindiran.

............................................................................................................................

Keesokan harinya aku dijemput oleh mereka. 'Pagi sekali...' pikirku. Jam dinding rumahku masih menunjukkan pukul 3 pagi. Untungnya tadi pagi mereka sudah menelponku, jadi setidaknya aku sudah selesai mandi dan berpakaian. Hanya sarapan yang belum kuhabiskan yang kujadikan bekal dijalan.

" Miki, duduk depan temani aku. " Nathan berkata seperti itu padaku sambil menyuruh Cissa pindah kebelakang. Cissa tak mengeluarkan sepatah katapun, hanya memelototi aku tanda tak suka. Aku hanya bisa tersenyum. Aku tak berani melawan nathan juga. Karena aku tak kunjung masuk mobil, Michael datang mendorongku untuk masuk ke mobil. Akhirnya aku duduk disamping Nathan yang mengemudi, kamipun berangkat.

" Kali ini kita akan ke Villaku untuk bersenang-senang. " Nathan memberitahuku kemana kita akan pergi. Sepertinya menyenangkan, sebab anak-anak lainnya bersorak gembira mendengar perkataan Nathan.

Perjalanan kami memakan waktu yang sangat lama. Sebelumnya kami sempat makan di Rumah Makan Padang. 'Rupanya orang kaya mereka juga suka makan padang, ya.' aku tertawa geli memikirkannya. Usai makan, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami bernyanyi saat mendengar lagu yang diputar di radio, bercanda, hingga akhirnya kami sampai di sebuah pekarangan rumah yang sangat luas. Aku terkagum melihatnya.

Tiba kami di depan rumah yang besar dan terbuat dari kayu dan batu itu. Teman yang lain bersemangat sekali menurunkan barang bawaan mereka. Aku yang masih terkagum melihat pemandangan rumah yang sangat besar itu, tidak menurunkan barang hanya menatapnya lekat-lekat. Aku tersenyum saat melihat ada seorang anak dibawah usiaku yang mengintip dibalik jendela lantai atas. Tiba-tiba saja bulu kudukku bergidik, tapi aku tak memikirkan hal aneh yang akan terjadi. 'Hanya angin dingin' pikirku yang memang pada saat itu udara pagi sangat dingin karena kami berada di kaki gunung. Aku pun cepat menurunkan barang-barangku dari mobil dan masuk ke rumah menyusul yang lain.

"Apa barang-barangmu sebegitu beratnya sampai lama sekali kamu masuk ! " Cissa membentakku dengan pandangan meremehkanku saat aku masuk ke dalam rumah. Aku hanya menggeleng pelan. Aku kan hanya mengagumi bentuk rumah ini. Bentuknya seperti rumah-rumah di negara Jepang, aku menyukainya.

" Kamu ga kedinginan ? " Tanya Nathan menghampiriku. Ramah sekali orang ini, tak seperti biasanya. Terlihat dia tidak suka dengan kata-kata Cissa padaku. Dia menyuruh Michael dan Leo untuk membawa Cissa ke tempat lain, terdengar jelas Cissa mendengus. Kebenciannya padaku akan bertambah, kurasa.

.............................................................................................................................

Saat makan malam pun tiba, karena tadi siang aku diajak untuk berkeliling villa ini melihat bekas reruntuhan di jalur kereta api yang kata Nathan tidak mungkin beroperasi lagi, aku jadi lupa menanyakan tentang anak kecil yang tadi pagi kulihat dan sekarang saat makan malam pun dia tak kunjung terlihat. 'Lebih baik kutanyakan langsung pada Nathan' aku pun memutuskan demikian karena villa ini milik Nathan harusnya dia mengenal anak kecil itu.

" Nathan... Uhm, aku ganggu ga ? " Tanyaku menghampiri Nathan yang sedang duduk di balkon lantai 2. Wah, pemandangannya indah disini. Nathan hanya menggeleng dan menyuruhku duduk dibangku sebelahnya. Tanpa ragu aku duduk disebelahnya, dan Nathan menatapku.

" Aku mau nanya, tadi pagi aku melihat ada anak kecil yang melihatku dari balik jendela lantai 2 ini. Kamu kenal? " tanyaku. Nathan hanya terlihat mengerutkan dahinya.

" Hahaha.. aku pikir kamu mau tanya apa. Disini mana ada anak kecil. Mungkin kamu salah lihat. " Nathan tertawa menjawab pertanyaanku, tapi setelahnya dia terlihat seperti berpikir. Mungkin benar, itu hanya bayanganku. Karena Nathan terlihat berpikir mencoba mengingat. Aku pun tak membahasnya lagi, hanya memandangi pemandangan malam itu hingga larut malam dan memutuskan untuk tidur lebih dulu. Nathan hanya diam saat aku pamit tidur.

.............................................................................................................................

Malam itu aku bermimpi, aku sedang naik ke lantai paling atas dari rumah ini meskipun aku juga tak yakin kalau ini bagian dari villa Nathan, karena tempatnya gelap dan banyak debu dan sarang laba-laba seakan tak pernah dihuni oleh seorangpun. Aku melihat sekelilingku, sepertinya ini langit-langit yang dijadikan gudang. Didepanku masih ada sebuah tangga dari batu yang menuju ke atap rumah. Berbekal rasa ingin tahuku, akupun menaiki tangga itu. Kulihat atap rumah ini rata. seperti dijadikan tempat untuk menjemur pakaian. Terlihat seorang anak kecil yang membelakangiku. Tapi terlihat bahwa dia adalah seorang anak perempuan, kira-kira dia sepantaran dengan adikku, Tasya. Yah, mungkin usianya sekitar 11 tahun. Rambutnya panjang sepinggang, kulitnya putih sangat serasi dengan gaun tidur warna putih yang sedang dikenakannya itu

" Hai, kamu sedang apa disini ? " tanyaku padanya, karena aku berpikir akan sangat berbahaya bagi seorang anak kecil bermain disini. Dia membalikkan badannya dan melihat wajahku. Aku terkejut, karena dialah yang kulihat pagi tadi. Berarti anak kecil itu benar ada. Tapi kenapa Nathan tidak mengenalnya, rasa bingung mulai melandaku. Anak itu tetap memandangiku tanpa mengeluarkan suara. Dia tersenyum sangat manis, akupun berjongkok memegangi tangannya.

" Namaku Hanna, kak Miki. Aku sedang menunggu Kakak disini. " Dia menjawabku tak lama kemudian membuatku terkejut karena dia tahu namaku. Aku memperlihatkan wajah heran padanya, dan dia hanya tersenyum.

" Kamu kok bisa tahu namaku... Hanna ?" tanyaku ragu-ragu. Kali ini rasa takut mulai melandaku, bulu kudukku bergidik. Aku berpikir jangan-jangan....

" Tentu saja, yang lain juga memanggilmu dengan nama itu, bukan ? Aku ingin menjadi temanmu, boleh ? Aku janji tidak akan menyakitimu.. " Hanna menjelaskanku. Dia tersenyum dan membantuku berdiri. Tiba-tiba aku terbangun karena Michael masuk kekamar dan berteriak mengucapkan selamat pagi. Aku duduk di tempat tidurku dan mengucek kedua mataku, mengucapkan selamat pagi pada Michael.

Perasaan mengganjal muncul dalam diriku. Kejadian tadi malam hanya bunga tidur semata karena aku memikirkan gadis kecil itu, atau karena memang ada. Aku jadi sedikit merasa takut. Setelah sarapan pagi, Anya, Michael, Nathan, Cissa dan yang lainnya bermain diluar rumah tapi aku tidak ikut. Masih mengantuk, itulah alasan yang kubuat agar mereka tak memaksa untuk mengajakku ikut serta. Aku berkeliling mencoba mencari tahu apakah tempat didalam mimpiku itu ada atau tidak. Berjam-jam aku mencari tapi aku tidak menemukan satu pun tempat yang keadaannya sama dengan apa yang kulihat dalam mimpiku semalam.

" Kamu lagi apa, sih ? " Tanya Nathan mengejutkanku saat melihatku kebingungan didalam rumah. Ternyata mereka sudah kembali. Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 3 siang. Aneh, padahal aku merasa baru saja sebentar mengelilingi bagian dalam rumah. Tapi ternyata aku sudah menghabiskan waktu 6 jam didalam sini.

" Hehe.. ga kok aku ga cari apa-apa. Hanya merasa rumah ini nyaman makanya mau lihat-lihat sambil isi waktu. Aku kan belum pernah kesini. " Aku mengarang menjawabnya, karena aku tidak ingin dianggap aneh oleh teman-temanku ini. Aku tidak ingin hanya karena dianggap aneh aku kemudian dijauhi lagi seperti hari-hari yang suda lewat.

" Lain kali kalau liburan lagi, aku akan ajak kamu dan teman-teman kesini lagi, atau bahkan ke tempat yang lebih bagus lagi kalau kamu suka. " Kata Nathan yang tertawa kecil mendengar jawabanku. Dia melingkarkan tangan kirinya ke leherku. Belum maju selangkah, aku melihat sebuah rumah tua yang tak jauh dari sana melalui jendela yang tepat berada di sebelahku. Aku menghentikan langkahku dan mendekati jendela melihat keluar. Nathan yang bingung melihat tingkahku mengikuti arah pandangku.

" Nathan, rumah itu.. " belum selesai aku berbicara Nathan lalu memelukku dari belakang.

" Kenapa sama rumah itu ? Kamu suka bangunan-bangunan tua, ya? " tanyanya padaku dengan senyuman. Dia menciumi tengkukku. Aku melepaskan pelukannya dan menghadap dia.

" Stop it, Nathan. " Kataku sambil mengatur nafasku. Jujur saja, aku sangat senang ada laki-laki yang memperlakukan aku sedemikian rupa. Hanya saja, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk merasakan itu. Aku mencari di dalam rumah ini dn tidak menemukan satu ruangan pun yang menyerupai mimpiku. Aku berpikir kalau saja aku bisa melihat rumah itu, mungkin rumah itulah yang aku cari.

" Nathan rumah itu, tempat apa? Bisa kita kesana ? " Tanyaku tergesa gesa tak sabar mendengar jawaban dari Nathan. Belum sempat Nathan menjawab, Cissa datang menghampiri kami disusul dengan teman lainnya. Menarik tangan Nathan menuju depan perapian.

" Nanti malam, di balkon seperti kemarin. " bisik Nathan sebelum Cissa lebih menariknya. Aku diajak oleh Michael untuk menyusul Nathan dan Cissa. Aku anya tersenyum

" Kita ngobrol bareng, yuk. " Ajak Anya kemudian sambil menarik tanganku. Kami berkumpul di depan perapian untuk berbincang mengenai liburan selanjutnya akan pergi kemana. Aku melirik jam dinding berharap waktu cepat berlalu agar aku dapat mendengar penjelasan dari Nathan. Melihat tingkahku yang bisa membuat curiga yang lain, Nathan membelokkan pembicaraan yang sekiranya dapat membuatku beralih dari jam dinding ke mereka.

...............................................................................................................................

0 comment(s):

Posting Komentar