Malam pun tiba, selesai mandi aku bersiap berjalan menuju balkon tempat kemarin. Tapi kuulur sebentar waktunya, karena yang lain baru saja masuk ke dalam kamar, jadi ada kemungkinan mereka keluar lagi dan melihatku.
Satu jam terlewat, tak terdengar satu suarapun dari luar kamar. Untuk memastikannya aku menjulurkan kepalaku keluar kamar melalui pintu kamarku. 'Yap, sudah sepi' pikirku. Aku berjalan menuju balkon, disana Nathan sudah menungguku. Aku mendekatinya dan menyentuh bahunya. Dia melompat, sepertinya sangat terkejut.
"Kamu kenapa Nathan ?" aku bertanya padanya. Mukanya pucat sekali. Nathan hanya menggeleng dan mengatur napasnya. Aku diam sejenak.
"Jangan seperti itu lain kali. Kamu bisa bunuh aku, tahu." kata Nathan padaku dengan sedikit senyum terbayang diwajahnya. Nathan mengamit tanganku dan mengajakku berjalan menuju lantai bawah. Kami pun menuruni tangga perlahan, untuk mengingatkan aku untuk tidak bersuara, Nathan memberikan kode dengan menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. Aku mengangguk tanda mengerti.
.............................................................................................................................................................
"Bangunan ini kan yang tadi membuatmu penasaran. Sebegitu sukanyakah kamu dengan bangunan tua? atau ada alasan lain?" Sesampainya kami di depan bangunan tua yang kulihat siang tadi, Nathan yang hanya diam sejak kami keluar cilla hingga depan bangunan ini tiba-tiba mengeluarkan suara yang mengejutkanku.
"Aku.. sebenarnya... sangat suka dengan bangunan-bangunan tua." Aku menahan niatku menjelaskan alasan sebenarnya pada Nathan. Dia hanya tersenyum mendengar jawabanku.
"Tapi karena ini sudah sangat larut, kita kembali dulu ke villa. Besok kita kesini bersama anak-anak yang lain. Setuju? tapi kita jadikan permainan saja, yah." Kata Nathan sambil merangkulku dengan tangan kirinya. Dia juga mencium pipiku.
Sekembalinya kami ke villa ternyata cissa menunggu kami di ruang tamu. Dengan wajah yang tampak tidak suka, dia menarik tangan Nathan dan mengajaknya langsung ke lantai atas. Samar-samar terdengar dia mendengus menatapku.
.............................................................................................................................................................
Sudah masuk hari ketiga aku disini. Tapi Nathan sama sekali tidak membuka suara mengenai permainan di rumah tua itu. Aku sudah sangat tidak sabar, tapi tidak dapat menanyainya langsung karena Cissa selalu menempel padanya. Nathan pun tak menatapku sejak saat itu.
Kurasa sudah tidak akan ada waktu lagi, kalau nanti malam Nathan tidak juga membuka suara, aku sendiri yang akan pergi kesana. karena besok malam kami sudah tak disini lagi.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan Anya dari dalam kamarnya. 'Maafkan aku..maafkan aku.. AAaaaaa!!!' itulah yang kudengar. Karena dia sambil berlari dan langsung memeluk Michael. Aku dan Nathan bergegas menuju kamar Anya dan bukan melihat keadaan Anya. Tapi kami berdua tidak menemukan seorangpun disana. 'Pada siapakah Anya meminta maaf ?' Aku dan Nathan saling berpandangan. Mungkin Nathan juga sama herannya denganku. Terlihat dari kerutan di keningnya.
Setelah Anya mulai sedikit tenang, kami berlima pun berkumpul di ruang tengah. Anya yang masih tampak pucat duduk bersender ke bahu Michael yang terlihat masih mengkhawatirkan keadaan Anya. Cissa pun menempelkan dirinya pada Nathan yang dibalas dengan dorongan pelan untuk menjauh. Cissa hanya mendengus dan langsung menatap tajam ke arahku. Aku tak memperdulikannya. Aku hanya ingin jawaban.
"Anya aku ingin tanya padamu. Apa yang kamu lihat, dan apa yang kamu dengar. Kamu minta maaf pada siapa tadi?" Nathan langsung bertanya ke pokok permasalahan tanpa basa-basi. Anya terlihat hanya makin mengatupkan mulutnya, seakan akan ada sesuatu yang keluar apabila dia membukanya. Dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Anya, apa kamuh melihat seorang gadis kecil kira-kira berumur 11 tahun yang menggunakan pakaian tidur berwarna putih?" aku langsung menembakkan pertanyaan itu pada Anya. Tiba-tiba saja terlintas dalam otakku. Anya sepertinya terkejut aku mengetahuinya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya. Nathan dan Michael terlihat terkejut, mungkin karena aku bisa menebak tepat. Cissa hanya memandang jijik padaku.
"Nathan, itu anak kecil yang aku lihat saat pertama kali aku sampai disini dan yang aku tanyakan padamu saat malam itu. Ap pernah ada sesuatu disini? Apa kalian mengetahui sesuatu?" Aku agak takut untuk menceritakan hal ini. Tapi hanya ini satu-satunya jalan aku mendapatkan jawaban siapa gadis itu sebenarnya.
"Dia adalah teman kami saat kami masih berusia 11 tahun, namanya Hannah. Saat itu ada gosip tersebar. Apabila saat seseorang yang tinggal di daerah sekitar rel kereta api mendengar suara kereta api saat tidur, maka waktunya tidak akan lama lagi. Sehingga muncul kepercayaan, apabila ada orang yang mendengar hal itu saat tidur, dia harus dijauhi, kalau tidak kutukan itu akan menular kepada orang yang dekat dengan orang itu. " Semuanya terdiam. Nathan juga menghentikan pembicaraannya. Cissa tampak ketakutan melihat Nathan. Anya dan Michael pun terdiam menatapku.
"Kau pasti tahu semua itu dan kau sengaja membuat kami membicarakannya kan! Kubunuh Kau!!" Cissa yang tiba-tiba saja berdiri menyerudukku dan mencekik leherku. Aku sudah hampir kehabisan napas dibuatnya. Nathan dan Michael berusaha menarik memisahkan Cissa dariku. Anya hanya berdiri menangis sambil menutup mulutnya.
"Kau pasti teman Hannah dan mau membalaskan dendamnya padaku! Mati kau, dasar setan! Aku tidak pernah akan membiarkan Hannah mendekati Nathan seujung kukupun! TIDAK AKAN PERNAH!!" Cissa mulai meledak. Sepertinya dia penuh dengan kebencian. Jari-jarinya semakin kuat mencengkeram leherku, aku mencoba untuk tidak melawan alih-alih mengirit napasku yang sudah hampir habis. Michael dan Nathan terlihat kewalahan dan pucat.
Akhirnya, Cissa dapat ditahan dan dimasukkan kedalam kamarnya oleh Nathan. Anya yang menangis dipeluk kembali oleh Michael. Aku yang sedang dalam posisi serba salah hanya duduk diam menarik napas yang sedari tadi tidak kudapatkan. Nathan duduk disebelahku, mengelus kepalaku dan menyenderkan kebahunya. Aku pun merasa aman.
"Waktu itu Hannah dikatakan mendengar suara kereta api itu di villa ini. Cissa yang mengatakannya. Karena kami masih kecil, kami hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh orang tua kami untuk meninggalkan dan tidak boleh bermain lagi dengan Hannah. Ternyata Cissa berbohong, Hannah tidak pernah mendengar suara itu. Tapi semuanya telah terlambat. Kebohongan telah menjadi kenyataan. Hannah ditemukan meninggal di dekat rel kereta api yang sudah tak terpakai itu. Saat itu, Hannah tergolong anak yang kondisinya mudah sakit. Cissa mengakuinya bahwa dia yang meninggalkan Hannah disana. Ini semua salahku, coba aku bisa membelanya, mungkin ini semua tidak akan terjadi." Nathan menceritakan itu padaku sambil meneteskan air mata. Sepertinya bukan kesalahan Nathan, tapi ia merasa bersalah.
"Lalu, apakah gossip kutukan itu masih ada?" tanyaku. Michael dan Anya yang sedari tadi mendengarkan hanya menggelengkan kepalanya. 'gosip itupun Cissa yang menyebarkannya' itulah yang kutangkap dari mata Anya.
............................................................................................................................................................
Malam tiba, Nathan dan aku bermaksud mendatangi rumah itu untuk meminta maaf pada Hannah. Michael dan Anya pun mengikuti kami dengan tujuan yang sama. Hanya Cissa yang tidak mau ikut, tapi mau bagaimanapun, akhirnya dia ikut karena tak ingin Nathan dekat denganku.
"Tak akan pernah kubiarkan kau merebut Nathan dari tanganku." Kata Cissa dingin menatapku. Aku hanya diam.
Kami masuk kedalam rumah tua dan menelusuri ruangan demi ruangan seperti yang tergambar dalam mimpiku. Belum sampai kami ke atap dimana aku berbicara dengan Hannah. Kejadian aneh terus mengganggu kami. mulai suara minta tolong, sampai benda-benda beterbangan kearah kami.
"Aduh..!" tanganku tergores kaca dan berdarah. Nathan segera merobek kaosnya dan mengikat tanganku menghentikan pendarahan. Dia memeluk menjagaku. Dia berdiri di depanku sekarang sambil menggenggam tanganku. Cissa yang tidak terlalu dipedulikan oleh Nathan tertinggal dibelakang. Saat aku menoleh untuk melihat keadaannya, dia sudah memegang Pisau ingin menikamku. Beruntung Michael melihatnya dan langsung menahan tangannya. Nathan melihat Cissa dengan marah dan menamparnya. Cissa pun menangis, berlari keluar dari rumah tua.Aku berniat mengejarnya sesaat sebelum Nathan menahanku dan menggelengkan kepalanya 'biarkan..' bisiknya padaku.
Hampir 1 jam kami disini. Tapi tangga menuju atap rumah tidak dapat ditemukan. Tiba-tiba saja, Michael mendatangi kami dan menanyakan apakah kami melihat Anya. Kami bertiga panik. Aku memutuskan untuk menyebar meninggalkan Nathan dan Michael. Tanpa sadar kakiku melangkah dengan sendirinya ke tempat-tempat yang aku lihat dalam mimpi. Dan sampailah aku diatas atap. Disana ada Anya yang terbarng pingsan dan Cissa yang terikat tangannya.
"Hannah aku mohon keluarlah! Aku mau menjadi temanmu, tapi tolong, mereka datang kesini untuk meminta maaf padamu. Ini semua karena kesalahan dimasa lalu. Mereka mengerti bahwa mereka bersalah setelah mereka beranjak dewasa. Nathan juga menyesalinya. Hannah! keluarlah, kumohon!" Aku berteriak memanggil Hannah sambil menangis. Aku panik, aku takut. Aku tidak mau ada sesuatu yang terjadi dengan teman-temanku.
"MICHAELLL!!" terdengar suara teriakan Nathan memanggil Michael sesaat setelah terdengar teriakan histeris dari Michael. Tak lama aku melihat Michael yang ditarik kakinya dari lantai bawah terikat bergantung dengan kepala dibawah tepat didepanku. Nathan pun tak lama kemudian berada disampingku.
Aku mencoba mendekati Anya untuk melepaskan talinya, tapi aku langsung terhempas ke tanah. Nathan yang mau membantu Michael, sekejap langsung membantuku. Aku hampir tak sadarkan diri akibat benturan keras dikepalaku. Nathan terus mengguncang tubuhku dan melindungi aku dengan tubuhnya. sambil meminta maaf kepada Hannah dan meminta untuk tidak menyakiti aku.
"Aku tidak akan pernah menyakiti Miki, Nathan, dia adalah temanku. Teman yang membantu kalian ingat padaku. Teman yang membuat kalian datang kembali kesini." Terdengar suara Hannah, sesaat jemudian barulah Hannah muncul tepat dibawah Michael. Aku bergidik, aku takut terjadi sesuatu pada Michael. Aku berdiri mendekati Hannah. Hannah hanya tersenyum.
"Terima kasih, Miki. Kau teman yang baik." Hannah mengelus kepalaku.
"Tidak, Hannah. Aku memang temanmu. Tapi aku salah membawa mereka kesini. Kamu memang temanku. Tapi aku tetap butuh teman manusiaku. Duniaku dan duniamu berbeda. Aku tidak mau kesepian lagi dan ditinggal sendiri. Aku mohon Hannah!" Aku berlutut memegang tangan Hannah. Rasa takutku pada hantu hilang sekejap, yang ada adalah rasa bersalah telah membawa teman-temanku kesini.
"Tentu tidak bisa, Miki. Kau tidak merasakan perasaanku yang ketakutan ditinggal. hingga akhirnya aku ditemukan tewas disini. Apa mereka peduli padaku? dan kau Nathan, apa kau melindungiku? TIDAK!" Hannah melihat penuh kebencian pada Nathan. Tiba-tiba saja Nathan berteriak kesakitan. Aku langsung menghampiri Nathan berusaha menghalangi pandangan Hannah pada Nathan, berharap dapat menghentikannya. Aku hanya bisa menangis. Satu per satu luka muncul di permukaan kulit Nathan, seperti disayat pisau.
"HENTIKAN PEBUATANMU ITU PADA NATHAN KAU SETAN BUSUK!! KAU SUDAH MATI, JANGAN KAU AJAK NATHAN!! KAU MAU BALAS DENDAM HUH?! BALAS SAJA PADAKU!! AKU YANG MEMBUNUHMU KAN, HEH?!!" teriak Cissa penuh kebencian seperti saat dia mencekikku di Villa siang tadi.
"Hannah, kumohon... kumohon Hannah.. tidak sepenuhnya salah mereka... kumohon..." Aku memohon pada Hannah dengan berlinang air mata memohon belas kasihan pada Hannah.
"Kau masih mau membela mereka. Miki? terutama dia. Dia sudah menyakitimu bukan tadi siang? aku melihatnya." Hannah menatapku kasihan sambil menunjuk pada Cissa. Aku menggeleng berharap Hannah tak melakukan suatu apapun pada Cissa. Tapi sepertinya Hannah benar-benar membencinya. Karena tak lama kemudian CIssa memuntahkan darah dari bibirnya dan tak sadarkan diri. Anya hanya berteriak.
"Hannah aku mohon, aku sudah menjadi temanmu. Aku saja yang pergi menemanimu. Tapi jangan kau siksa mereka. Aku mohon, Mereka adalah teman-temanku. Aku tak mau kehilangan mereka. Aku butuh mereka menemaniku. Pertengkaran diantara sahabat merupakan hal yang biasa. Cissa hanya ketakutan, dia merasa dia melakukan hal yang salah padamu. Dia tidak sepenuhnya jahat. Kalau memang dia jahat, dia sudah meracuniku dari hari pertama aku tiba disini. Kumohon Hannah. Aku akan menemanimu disini selamanya. Sebagai gantinya kumohon, lepaskan mereka." Aku menangis memeluk Hannah.
"Tidak, jangan ambil Miki, Hannah. Aku saja yang menemanimu. Aku lah yang bersalah aku tak melindungimu. Biarkan aku menebus kesalahanku dengan menemanimu." Nathan langsung menarikku kebelakang badannya. Pasti luka-luka dibadannya sakit sekali, karena dia berdiri dengan terhuyung, tapi tetap mencoba melindungiku.
"Hannah, aku menyukai Nathan, seperti kau menyukai Nathan. Apa kau tega melihatku bersedih? Aku temanmu bukan?" Aku memeluk Nathan dari belakang. Nathan yang terkejut langsung terdiam. Terlihat Hannah berwajah sedih sambil menggelengkan kepalanya.
"Miki, tentu saja aku tidak dapat membuatmu menemaniku. Aku ingin manusia sepertimu tetap hidup. Nathan, kau yang kucinta. Aku tidak mungkin membawamu. Karena sekarang sudah ada yang mencintaimu. Anya, Michael, Aku jga tak ingin menyakiti kalian. Aku hanya ingin kalian tahu sakitnya dan takutnya aku saat itu. Cissa.. aku tidak pernah membencinya. Aku hanya ingin membuat dia tidak angkuh lagi. Aku tidak pernah membenci kalian temanku. Aku sayang kalian. Aku hanya ingin kalian menghargai teman di hari-hari selanjutnya. Meski sedih karena selama ini aku sendiri, tapi aku bahagia sekarang, kalian tahu apa yang kumaksud. Selamat tinggal temanku. Jangan pernah sakiti orang lain lagi." Hannah berkata seperti itu, membuat dadaku sesak. Diapun menghilang dibalik cahaya setelah mengucapkan perpisahan itu. Mataharipun mulai terbit.
Anya, Cissa dan Michael yang terikat pun terlepas dengan sendirinya. Cissa yang belum sadarkan diri membuat kami khawatir dengan keadaannya. Luka-luka yang ada di badan Nathan, Anya dan Michael pun hilang tanpa bekas. Kamipun pulang dengan membawa Cissa yang masih keadaan tidak sadarkan diri itu ke rumah sakit.
.........................................................................................................................................................
"Miki, kita jenguk Cissa, yuk!" aku hanya menyetujui ajakan Michael dengan anggukan kecil. Aku pun meninggalkan kelas dan bergandengan dengan Nathan. sudah 2 bulan kami lewati sejak kejadian di rumah tua itu, tapi Cissa masih belum kunjung sadar, seperti sedang tertidur karena tidak ada bekas dia mengeluarkan darah banyak dari dalam tubuhnya.
Sekarang aku dan Nathan sudah berpacaran selama 2 minggu. Nathan sangat menyayangiku dan cukup extra hati-hati dalam hal melindungi. Semoga Hannah juga bahagia disana.
Setahun kemudian Cissa kembali berkumpul bersama kami. Menurut kedokteran kasus Cissa merupakan kasus yang aneh. Cissa juga berubah seperti orang lain. Tidak seperti Cissa yang sebelumnya. Nathan sempat mengira Cissa adalah Hannah. Tapi ternyata bukan. Cissa bilang, dia sudah meminta maaf pada Hannah, dan berjanji tidak akan menganggu hubunganku dan Nathan.
Kami berlima berjanji, pada setiap hari kematian Hannah, kami akan ke villa itu dan menengadah kelangit dan berteriak bahwa kami semua menyayanginya.
....................................................The End...........................................................
0 comment(s):
Posting Komentar